Senin, 09 Desember 2013

Kembali...

        Pernahkah, dalam seumur hidupmu, ada satu penyesalan yang selamanya berkelana di dalam benakmu dan menggerogoti dirimu hingga kau lupa bahwa masih ada hari esok yang menanti?
        Atau, saat di mana dirimu bukan dirimu yang dulu. Melainkan semacam reinkarnasi diri menuju sesuatu yang tak baik. Seperti kupu-kupu yang malah menjadi ulat bulu, atau seperti sungai keruh?
        Ini aneh. Ini datang tanpa pernah diimpikan.
        Apa ini karena seseorang baru yang sejenak, menghapus 'kamu'?
        Alam berbahasa tentang betapa tertinggalnya aku. Alam pun mulai berseru, bertanya di mana aku yang dulu. Di mana aku yang dengan tangan terkepal melawan awan dan berani terhadap mentari? Di mana aku yang dengan mudah menaklukkan duka dan menerjang air mata tanpa berpikir panjang? Kukira, diriku yang dulu, sedang terpenjara oleh diriku yang baru...
        Ingatanku kembali ke konferensi yang terjadi di gazebo teduh sekolah. Hanya ada tiga pasang kaki yang berpijak di sana. Aku, dan dua sahabatku.
        "Pernah nggak di antara kalian ada yang suka anak kelas?" sebuah suara membuka tabir hampa diantara kami. Punggungku menegak.
        Sahabatku yang berkulit putih melirik sekilas, seolah menyorotkan tanda tanya besar yang membuat lidahku kelu.
        "Kalau kamu?" beruntung sebuah pertanyaan menghalau bibirku bergetar. Itu dari sahabatku yang lain, panggil saja Diana. Matanya tak mengarah padaku. Tapi pada Virna.
         Virna terdiam sesaat. Manik matanya yang indah tertuju padaku. "Ya. Mungkin. Kalian?"
         Kini, kembali aku rasakan alam berbahasa. Aku terjebak di dalamnya.
         "Kamu?" sebuah suara membuatku sedikit tersentak.
         Tanpa aku sadari, Diana sudah mengutarakan isi hatinya tadi. Bahwa ia belum pernah merasa kagum pada siapa pun di kelas. Apa yang aku lakukan hingga aku bahkan tak mendengar apa yang mereka katakan. Alamkah yang menggiringku?
         Aku termenung sesaat. Mengingat pekatnya sesak yang sudah membusuk di dalam hati. Apa ini saat yang tepat? Salahkah jika aku mengatakan apa yang tak seharusnya aku katakan?
         "Hey.."
         Mataku dengan siaga kembali menatap dua mata yang haus akan jawaban. "Ya. Kagum. Hanya itu."
          Keduanya masih membisu. "Siapa?"

         Sudah kuduga. Itu pertanyaan yang tak awam.
         Aku menghela napas. Memejamkan mata dan mulai menghela udara. Deru suara air menyelimuti. Air mancur di sisi gazebo kian meninggi tertiup angin. Seketika ingin rasanya aku menjadi bagian dari alam. Menjadi satu di tengah ekosistem. Melihat kejadian-kejadian dan mendengarnya. Bukan turut andil di dalamnya.
        "Lupakan. Dia udah suka anak lain, kok." sebuah senyum getir tergambar. Dari bibirku. Penuh kebohongan, aku tahu itu.
         "Kenapa? Kamu kok bilang gitu?" tanya Virna.
         Kenapa? Kukira, karena aku adalah tokoh antagonisnya.
         Masih segar diingatanku, bagaimana caraku menyimpulkan bahwa dia datang di saat yang salah. Ya, dia, cinta.
           Dia sudah merenggut semuanya. Semangat itu. Rasa percaya diri. Prestasi. Waktu. Peluh.
           Entah mengapa, selalu ada rasa takut yang berujung pada firasat sesaat. Tentang apa jadinya jika aku benar jatuh cinta padanya? Mungkin itulah satu dari sekian alasan mengapa diriku yang dulu terbunuh. Karena diriku yang baru telah kemari, berusaha mencuri tubuhku dan menguasai kesadaran diri. Terkadang, baru tak berarti bagus untukmu.
           Dan saat ini, satu hal yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan aku yang dulu, adalah berhenti berfirasat tentang kemungkinan terdekat. Ya. Aku harus melaju dan menutup telingaku. Menatap setapak dengan tegap. Mengabaikan peran antagonis. Menghapus derai tangis. Dan kali ini, sekali lagi aku berseru, "Tunggu aku yang dulu. Aku yang bahkan lebih terang dari kilau bintang paling benderang!"
         
        
        -Today-

Kamis, 05 Desember 2013

Pelukan Hujan

        Read it Before
        Kau tahu, mungkin imajinasiku sudah kelewatan batas. Ya, ketika aku terpaku pada sang mendung, sosokmu bahkan seolah muncul. Seperti fatamorgana yang dengan mudah membuatku terpana. Saat itu, aku masih mengamati mendung, namun kedua pasang sepatu itu berhenti di depanku. Bukan. Ya, tentu saja itu bukan kamu. Bukan sepatumu.
        Pemilik sepatu itu adalah teman sekelasku. Ia bertanya, "Ngapain kamu di sini?"
        Aku mengangkat kepala perlahan, kemudian sejenak menatapnya. "Aku... menunggu hujan."
        Hujan...
         Itu kejadian 3 hari yang lalu. Ketika dengan perasaan berapi-api aku berharap hujan tak akan datang. Akan tetapi, hari ini, di hari pertama butiran hujan turun, aku mampu menyimpulkan. Bahwa inilah saat yang tepat. Saat yang cepat atau lambat jelas akan datang. Saat di mana aku harus mengangkat bendera pertanda menyerah.
         Mendung sudah menyergap langit lama. Dan ketika aku tengah berkutat dengan pasal-pasal, kudengar alunan hujan. Detik itu juga, senyumku tergurat. Samar.
         Dalam diam aku bergumam, ketika hujan bertandang, itu adalah pertanda di mana lembaran baruku terbuka. Dengan kata lain, doamu lah yang menjadi juara. Kamu kini bisa bersedih tanpa ada yang merasa bahagia di atas kesedihanmu.
         Ketika hujan menatapku, dengan mata sendu ku lihat kegelapan yang sepenuhnya menguasai angkasa. Hujan. Ya. bumi kini terjebak dalam pelukan hujan. Terjebak dalam kesedihanmu.
         Dan kini, satu hal yang aku tahu, bahwa kita memang tak bisa memaksa sesuatu yang tak selayaknya jadi milikmu.
- Mid November 2013-

Jumat, 01 November 2013

Mendung Bercerita

      Mendung.
          Satu kata tanpa setitik pun makna indah. Apa pun yang terbayang tentangnya ialah kegelapan yang menandai sebuah kepedihan. Dan kukira itu adalah tanda bahwa kamu tengah berduka.
        Itu siang yang tak berteman dengan mentari. Mereka lebih memilih merengkuh awan kelam dan menjadikan mereka teman. Alunan lagu yang tengah berdengung di telingaku memaksaku terbawa pada suasana bahagia. Bertolak belakang dengan perasaanmu yang mungkin rapuh. Serapuh sayap kupu-kupu. 
            Salahkah jika aku bahagia di atas kesedihan yang kamu rasakan? Mungkinkah kata putus terdengar menyakitkan di telingamu, tetapi membahagiakanku? Kejamkah aku? Salahkah jika aku terus berdoa tentang hal itu?
            Egois! Itukah kata yang pantas ku sandang?
           Mungkin alasan bahwa hujan tak pernah datang adalah aku dan kamu. Karena aku dan kamu berdoa meminta permohonan yang berbeda. Awan gundah dan terjebak di antara doa-doa ku dan doa mu. Oleh karena itu, mereka hanya melukiskan mendung yang panjang. Sama sekali tak menghadirkan hujan.
         Hari ini, sekali lagi aku menatap mendung. Duduk termenung di depan kelas seraya menanti kamu muncul dari balik tikungan itu. Dan ketika aku duduk menekuk lutut, sepasang sepatu beralas putih berhenti. Di depanku.
             Ketika aku menengadahkan kepala, kulihat tubuh jangkung itu berdiri di sana. Seketika darahku berhenti mengalir. Bersamaan dengan angin yang berhembus halus. Seolah memeluk aku dan kamu yang terjebak di dalam dimensi waktu.

To be continued..

Mendung Bercerita
1 November 2013


Sabtu, 28 September 2013

I Am (Not) Strong

     Mataku terpaku pada satu titik yang mendadak membuat dadaku berdesir. Sesuatu yang seketika membuat darahku berhenti mengalir. Kukira, baru kemarin kubuka akun twittermu. Tapi...
      'Syifa Dania'
       Sebuah nama terukir indah di sana. Di biodatamu. Seolah mengikrarkan pada semesta tentang betapa kamu percaya bahwa kamu punya cinta yang layak untuk disebarluaskan. Aku tidak mengkritikmu, atau bahkan mencerca caramu mencintainya. Tapi..
      "Anak itu nggak pantes buat Kakak itu!"
      Benakku dipaksa berkelana tentang celotehan teman-teman. Ketika mereka berusaha jadi pelipur lara disaat hanya air mata yang mampu menggambarkan perasaanku.
      "Kamu kuat, kok!"
       Seolah sudah jadi santapan pagi, sakit dan air mata bagai sebuah kisah senja yang akan selalu datang. Berlalu dan kemudian kembali bertemu.
       Akan tetapi, hati tak lebih dari sekepal tangan manusia. Mereka lemah. Mereka mudah berdarah. Mudah terluka.

       Jika saja, sakit itu bisa diakurasikan dengan angka dan rumus fisika, maka berapa angka yang didudukinya?
       Berapa ton sudah beban itu bersarang dan akhirnya meradang?
       Ketika aku berusaha tegar, tersenyum dan berkata pada diri sendiri bahwa segalanya akan baik baik saja, yang ada hanyalah rasa sakit yang kian berkecamuk. I am not strong, but i'll try to be strong. Because I know, its the consequence. And it means, everyday will be a heavy day.

Jumat, 20 September 2013

Fearness

     Pernahkah kamu mengerti rasa di mana kamu takut untuk menyayangi? Takut untuk jatuh dan tak dapat bangkit lagi?
     Atau, pernahkah dirimu mengerti satu rasa yang membuat dirimu seolah mati?
     Itu tanggal di mana kamu merasa terlahir kembali. Tanggal di mana kamu mengucap harapan dan keinginan masa depan. Banyak kejutan yang temanmu berikan dihari itu. Tumpahan tepung, telur, dan bahkan mereka menyembunyikan sepatu kesayanganmu.
      Aku hanya tersenyum samar, berpikir bahwa aku tak mungkin ada di salah satu jejeran orang yang bisa menumpahkan tepung ke wajahmu.

 
      Tapi, setidaknya ada sebuah doa yang aku panjatkan. Doa agar kamu dapat bahagia bersama orang yang kamu cinta. Akan tetapi, doa itu masih tertahan di kerongkongan. Pelan dan penuh akan ketakutan. Takut bahwa doa yang kubuat untukmu adalah doa yang akan membuat luka baru. Karena itu berarti bahagiamu mungkin bukan denganku.
      Aku sadar ini ironis. Tapi, pernahkah kamu berharap pada kisah yang tak mungkin kau miliki? Seperti ketika kau ingin meraih satu bintang paling terang di atas awan?
      Jika pernah, apa kau bisa meraihnya?
Fearness
05 Sept 2013
-Annisa-

Sabtu, 24 Agustus 2013

Jatuh Cinta Pada Nada

     Ini detik yang kemilyaran kalinya untukku bisa menghela udara. Semua baru dimulai. Semuanya. Kegilaan dan tangisan itu mungkin akan kembali hadir. Mengisi setiap detak jam dengan tekanan atau mungkin sebuah kekosongan yang berlarut-larut.
     Ini bukan hanya kisah tentang kamu atau juga tentang mimpiku. Ini adalah tentang duniaku. Dan itu berarti tentang segalanya.

     Hanya dengan berkisah tentangmu, sesuatu terlihat lebih hidup. Begitu pula ketika aku bercumbu dengan kertas dan pena berhias kupu-kupu. Mereka seolah berkata, 'Ayo! Cepat ceritakan apa yang terjadi hari ini' Namun aku hanya bergumam, 'Hari ini menyenangkan, akan selalu menyenangkan. Karena aku bisa melihat senyum itu lagi'

     Tahukah, setahun yang lalu, tak ada sama sekali gurat senyum yang mampu jadi penghapus laraku. Hanya senyum mu yang punya kekuatan ampuh. Seperti penyihir yang bisa mengelabui semua hanya dengan sekali hunusan.
     'Jadi apa klub yang akan kau pilih?' seolah sepasang pena dan kertas yang saling jatuh cinta itu bertanya, bersama, serempak. 'Aku.. akan memilih klub paduan suara.'
     Kemudian, tanpa paksaan, jemariku menulis sebaris kisah tentangmu hari ini.
     Suara gitar itu beralun memenuhi udara. Indah dan berasal dari hati. Tanpa aku sadari, nada itu membawaku menuju ujung suara. Dan di sana, seperti ada malaikat tengah berkisah tentang isi hatinya. Bahwa ia sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada nada.
     Dan dalam kebisuanku tentangmu, aku selalu berkisah. Akan selalu berkisah. Bahkan jika itu artinya aku harus ikut klub paduan suara, tak ada salahnya. Karena aku berharap, aku yang kali pertama menyanyikan lagu ciptaanmu. Meski aku tahu, akan jauh lebih banyak luka yang tertancap di sini.
     Di hati.
   

Jumat, 19 Juli 2013

[Cerita Bersambung] Kosong Dalam Kubangan Kebahagian

Tidak. Aku tidak benar benar bangga dan bahagia bisa berada disatu sekolah yang sama denganmu. Tidak setelah aku tahu siapa bidadari itu.
Rencana Tuhan terkadang terlalu memojokkan. Dan aku yang harus menanggung beban. Dari sekian banyak kelas, akulah yang kini menempati kelasmu dulu. Bersedih sendiri ketika semua tertawa bahagia. Merasa kosong di tengah jiwa-jiwa yang tengah berbunga.
Ini lucu, tapi tidak membuatku tertawa. Apa takdir hanya seujung kuku? Dan kebetulan kita bertemu pada satu titik tumpu yang sama?
Melihat namamu dan nama gadis itu di papan tulis, membuat luka lama yang jauh lebih membunuh. Ini caramu menunjukkan kekuatan cinta? Berkata pada dunia bahwa ada malaikat dari surga yang menjagamu. 
Ini cukup untukku menyadari sesuatu yang harusnya sudah sejak dulu kusadari. 
Tapi, apa ini cukup untukmu mengakhiri sakit yang terus kau jatuhkan padaku? Apa tak ada kata lelah bagimu memberiku luka luka yang kelak akan bertambah parah?

Bahkan jika kisah ini bukan untukku, setidaknya aku bersyukur, aku pernah mengenalmu. 


Kosong Dalam Kubangan Kebahagiaan
-Annisa-
19.07.13

Sabtu, 15 Juni 2013

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Terbunuh Waktu

         Aku masih ingat, semua itu terjadi bertahun yang lalu. Ketika dua musim dingin dan dua musim semi berlalu seperti halnya langit biru yang akan berganti malam. Diam, namun menjanjikan. -Venisia




       Entah bermimpi apa aku sebelumnya, berjalan ke sekolah tempatmu menimba ilmu, seperti diuji oleh malaikat pencabut nyawa dengan tongkat besar di tangannya. Ini memang mimpiku, bukan deja vu. Mimpiku untuk bisa berusaha menunjukkan bahwa aku tak akan pernah menyerah.

        Dari lautan manusia yang ternyata seribu delapan ratus jumlahnya, aku berdesakan diantara mereka untuk menuju ke ruang tiga puluh satu. Di sanalah aku akan dites. 
        Hampir setahun yang lalu, terakhir kalinya aku melihatmu. Aku tak pernah tahu, setinggi apa kamu sekarang, seputih apa kulitmu, sekurus apa tubuhmu, seberandal apa dirimu. Entahlah, hanya sisa bayangan akan tatapan tajammu dan senyum samar saja yang dapat terukir di benakku yang dangkal. Jika aku memang salah memilih sekolah ini, setidaknya ada kisah yang mengatakan bahwa aku bukan manusia yang mudah menyerah.
        Aku berjalan melewati koridor dengan mata siaga. Menacari sosokmu yang setidaknya menyapa mataku. Hanya mataku, bukan diriku. Aku terpaku pada segala pelosok sekolah. Mereka bilang kau sedang UKK. Kamu sedang bergelut bersama angka angka dan kata yang membuatmu sakit kepala.
         Aku tak pernah benar-benar menjamin apa aku bisa duduk di salah satu bangku kelas sekolah ini atau tidak. Tujuanku cuma satu, kamu.
           Aku seperti bunga matahari yang mengikuti mentari. Kali ini, aku bunga matahari yang layu. Ya, karena aku kehilangan mentariku.
           Hingga tes usai, aku masih tak melihat sosokmu. Apakah ini tanda bahwa kita akan bertemu di waktu lainnya? Ketika aku sudah berseragam SMA? Berdasi sama dengan yang kamu punya?
           Sekarang, tak ada yang dapat aku lakukan. Hanya menunggu waktu membunuhku. Mengantarkanku pada surga atau neraka. Tempat di mana kita bisa satu sekolah, atau melanjutkan kisah berdarah yang tak ada ujungnya.
           Dan kuharap, surga adalah tempatku bertemu denganmu.. Di sini, di sekolah ini..

Minggu, 02 Juni 2013

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Ini Celah di mana Aku Harus Menyerah

Ketahuilah, semua manusia pasti punya batas kemampuan. Begitu pula aku. Aku mundur. Tapi, sahabatku berkata, kamu mundur untuk melangkah lebih jauh. Ya. Untuk saat ini, aku mengaku kalah, aku menyerah. Tapi aku masih percaya, cerita ini tak akan pernah ada akhirnya sebelum bahagia menyemat akhir endingnya. -Venisia


Butiran hujan berjatuhan memecah udara yang sebelumnya hangat. Dalam keheningan sendiri, Veni membuka lemari buku, mengambil sebuah buku berisi rumus matematika yang mencolok mata. Tapi sebuah buku lusuh mencuat di antara buku-buku tebalnya. "Buku ini?"

Venisia perlahan mengambil buku itu. Sebuah buku seukuran buku tulis dengan sampul coklat muda membalutnya. Ada tulisan tangan Venisia di depan. Tulisan yang hampir buram.

Venisia membuka halaman pertama buku itu.

"Aku percaya pada cinderella, bahwa ada saatnya cinta yang telah lama kau tunggu itu akan datang. Ia akan menghampirimu, menyapamu dan menjanjikan bahagia padamu," Veni membaca tulisan itu lamat. "Tapi ada juga saat di mana harus ada luka yang mendera dan air mata yang bercucuran. Seperti itulah sinema drama."

Venisia menghela napasnya. Jadi, apa ia bagian dari drama itu?

"Cinderella bilang, semua yang baik akan menang." kembali Venisia membaca kisah yang pernah dibuatnya. 

Hujan yang menari di luar rumahnya seolah memaksa Venisia memutar memori terbuang di benaknya. Ketika untuk kali pertama ia menyadari siapa dirinya. Ia bagian dari drama. Tapi ia adalah tokoh jahatnya.

"Varis sudah punya bidadarinya. Dan aku? aku berusaha merebut kebahagiaannya.."

Venisia merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Sesak.
Selama ini, ia bukan puteri baik hati yang kelak akan berdiri di sisi pangeran. Ia adalah tokoh kejam pembawa kegelapan. Ia akan kalah, karena ia tak punya apa-apa. Tapi mengapa harus ia? Mengapa tokoh jahat tak bisa menang?

Venisia bangkit dan mengambil telephon genggamnya. Beberapa detik berlalu, termakan waktu. Venisia mengeluarkan kartu berbentuk persegi yang terpasang di telephone genggamnya. Meremas benda itu dengan hati memanas. Bergumam sesuatu yang amat berat. "Terima kasih karena bersedia berbagi kisahmu di sini. Tapi aku tahu siapa aku. Sekali lagi terima kasih." Sebutir air mata berderai bersama desah keputusasaanya.

Sudut mata Venisia dibanjiri air mata. Terluka. Bersalah.
Ia memejamkan mata dan ketika ia membukanya, kartu berisi nomor Varis sudah terbelah menjadi dua. Seketika, hanya ada suara jerit hatinya yang tersisa. Karena Venisia menyerah. Ya, menyerah.




Rabu, 27 Maret 2013

Melodi

Ijinkan aku membuka celah sang waktu. Ijinkan jemari kecilku mengukir sisa kisah yang masih tersedia. Ijinkan debu-debu rautan pensil ini menjadi saksi mati meski ia sama sekali tak mengerti.
Jika pada akhirnya kisahku ini berbuah duka karena kecerobohanku sendiri, beri satu kesempatan kecil yang kelak menjadi besar. Jika pada akhirnya bahagia yang menyapa, maka jangan buat bahagia itu hinggap sesaat. Buat ia selamanya terbang. Mengembang. Tak hanya berhenti di satu titik yang tiap saat bisa mengempis. Ini harapanku pada sang waktu. Ketika melodi sunyi yang bergema dan aku berusaha berdansa bersama untaian angka atau bahkan rumus fisika, beri kami kepercayaan dan kepaduan.

Jumat, 01 Maret 2013

"Felt"

        Cinta bukan bicara tentang rumus matematika. Di mana ada tolak ukur yang menadasari tiap jawaban dari sebuah pertanyaan. Juga bukan tentang ilmu fisika. Yang mana ada fakta dan ilmiah yang menyatu jadi satu. Apalagi ilmu akuntansi yang mengaharuskanmu menilai, meneliti mengukur, menghitung kualitas dan kuantitas. Bukan. Cinta bukan hal semacam itu. Cinta tak ada ukuran. Cinta tak ada perhitungan. Juga tak ada penilaian.
        Ini nyata dan ini realita. Kisah yang sempat tertimbun, kini kembali mengalun. Kisah cinta bak drama yang menggetarkan jiwa. Kisah ketika hitam dan putih menyatu, atas dan bawah berpadu.
         Itu senja. Ada luka yang tertoreh indah di sana. Jika saja aku bisa membunuh waktu, menghapus pilu di tengah senja yang tertawa kala itu, mungkin kita tak akan pernah bersama. Selalu ada pelangi setelah perginya badai. Meski senja sudah ternodai sakit hati, ia tak akan pernah marah, malah justru sebaliknya. Senja menjadi saksi sejarah yang membuka lubang-lubang kehidupan, satu persatu, sedikit demi sedikit. Ia memahami kisahku lebih dari aku memahaminya. Senja tahu bagaimana rasaku. Ia tahu dan mendengar tuturku lewat gurat jingga yang akan selalu terjaga.
        Aku percaya, senja yang cerah tak selalu membawa kisah bahagia, tapi ia membawa pahit yang akan menjadi manis. Setidaknya, aku percaya pada Senja. Seperti aku percaya pada Cinta. Percaya bahwa cinta bukan perkara kalah, bahagia, atau duka. Bukan ukuran, keinginan, kekuatan, atau semacamnya. Hanya rasa. Itu saja. Maka pejamkan matamu dan gumamkan nama itu. Rasakan bahwa ia ada disisimu dan selalu ada untukmu. Dan semuanya akan baik-baik saja. Karena bahagiamu adalah bahagianya. Begitu pula sebaliknya.


2013-03-02
Annisa
"Felt"

Rabu, 20 Februari 2013

Cloud(s)

Sang roda waktu mungkin terlihat bisu, tapi mereka bahkan tak pernah sekali pun diam. Mereka bicara dan terus berkata. Ada celah di mana kamu harus mengingat. Sesuatu yang bisu tak selalu bebas dari suara. Seperti bahasa-bahasa yang tercipta antar manusia. Seperti juga lampu merah di jalanan. Mereka bicara. Mereka menyampaikan sesuatu.
Awan awan yang nyaris berjatuhan di atas kepalamu, mereka jelas melihatmu. Bahkan mungkin juga mendengarmu. Percayalah, cinta dan kasih tak pernah ada ujungnya. Karena cinta bukan permen karet yang habis manis sepah dibuang. Karena cinta bukan gulali, yang jika lama tergeletak akan mengempis dan akhirnya habis. Cinta bukan bicara soal nyata atau kah selamanya. Tapi, bagaimana kau memperlakukannya. Mendengarkannya. Memahaminya. Merasakannya.
Karena cinta tak seperti patung. Yang dapat lapuk atau dikenang, dan tak hilang. Cinta adalah awan. Yang terkadang kelam. Yang terkadang memberimu perlindungan. Awan juga terkadang marah dan menjatuhimu air mata. Air mata yang tercipta ketika ia tak kuasa menahan luka dan duka yang mendera dirinya...

Minggu, 10 Februari 2013

Miracle is The Other Name of Struggle. Just That. Enough

              Jika aku udara di tengah sayap yang mengepak hebat, apakah aku udara yang akan membawanya ke arah yang seharunya? Entahlah... Aku masih percaya bahwa keajaiban adalah nama lain dari kerja keras. Ya, hanya itu. Bukan mantra atau semacamnya, hanya rasa percaya...


Annisa,
Di malam senin yang hening 23.54 
10-02-2013

Senin, 28 Januari 2013

Petikan Hujan

Pulang sekolah, sang cakrawala telah beriring kelabu dengan gurat kelam tanpa adanya biru. Entah di mana dan kemana sang mentari pergi, hingga di atas sana tak ada secercah cahaya pun yang terpancar. Mungkinkah mentari hanya lelah karena semua manusia mecercanya dengan kata penuh amarah. Karena mentari selalu menyiratkan panas yang membuat semua keluhan itu muncul. 
Kini, hujan telah datang. Menggantikan senyuman cemerlang dari mentari dengan titik-titik embun yang menggantung di sudut dedaunan. Kau dapat mendengar melodi rintih yang mengingatkanmu pada perih. Pada situasi di mana kamu pernah merasa sendiri. Dan itulah yang dilakukan hujan.
Hujan seolah membawa pesan dari langit padamu. Menyuruhmu mengungkit kembali memori-memori pedih. Hujan menyeretmu kembali ke masa dirimu dulu. 
Ketika hujan datang, dengarkan mereka menyebut asmamu. Rasakan mereka tengah berusaha menggapai duniamu. 
Bahwa hujan hanya ingin mendendangkan nyanyiannya dalam bentuk petikan hujan. Melodi tak pasti yang menyiratkan arti. Arti yang hanya kamu dan hujan itu sendiri yang mengetahui...

Jumat, 18 Januari 2013

No Title

Mengarungi waktu yang tak tentu, seperti meniti tali tanpa alas kaki. Jika pelangi baru kembali esok hari, setelah badai dan petir menyambar, akankah ada cahaya di tengah hujan yang terus berjatuhan?
Pernahkah kau perhatikan senja yang terkadang seolah membisikkan sesuatu kepadamu?





2013.01.18

Senin, 14 Januari 2013

9001

Langit di atas kepalaku memandangku kelabu. Suasana pulau Bali kali ini, berbeda dari hari lainnya, karena ini minggu kedua dibulan Januari yang kaya akan hujan. Aku sadar itu. Berharap akan ada mentari yang terbenam di ujung lautan, mungkin harapanku terlalu terbentang.
Setidaknya, kenangan akan Bali tak seluruhnya datar. Ada segelintir kenangan tak terlupakan yang tertorehkan. Kenangan tentang senyuman dan keindahan. Ialah 9001. Begitulah caraku memanggilnya. Mengenalnya. Mengingat sosoknya.
Jika waktu benar-benar telah menjamah duniaku begitu dalam, seharusnya aku sadar, bahwa 9001 terlalu cepat untuk membuatku melupakan dunia fana. Membuatku tenggelam dalam kekaguman yang tak tergambarkan.
Ah, mengapa kita bertemu jika akhirnya terpisahkan? Mengapa aku mengingat senyummu jika pada akhirnya aku tak dapat melihat ukiran senyuman itu lagi suatu saat?
DK 9001 HO. Apa yang spesial dari semua itu?
Hari itu, dengan tak ada semangat yang tertera, aku melangkah bak manusia tak punya nyawa. Melihat pertunjukkan barong? Jelas hanya akan membuatku menguap tanpa mengerti alur ceritanya.
Aku dan tiga sahabatku duduk di salah satu bangku yang berada di tengah. Sejenak napasku menghela. Dalam diam aku bergumam, "apa yang menarik?"
Beberapa turis mulai memasuki ruang, bersamaan dengan dentingan gamelan yang membahana. Tak lama, pertunjukkan dimulai. Ada manusia menjelma menjadi harimau yang keluar, monyet, dan sebagainya, yang jelas aku sama sekali tak mengerti alur cerita.
Beberapa menit berselang, satu persatu siswa berseragam batik datang. Wajah mereka seperti wajah sunda, karena berkulit putih bersih. Hingga akhirnya perhatianku tersedot pada sosok tinggi berkamera. Ia ada di sana. Di sebelah tiang membawa kamera dan membidik beberapa kali posisi.
Wajahku menghadap ke pertunjukkan, tetapi mataku berkelana mencari sosok itu. Mencari ia mengulum senyum disela pertunjukkan. Ya, ia di sana. Tertawa. Bebas. Lepas.
Usai pertunjukkan, semua keluar ruangan. Namun aku tetap menantikan. Menanti aku bisa berpapasan dengan sosok bersenyuman menawan.
Beberapa kerikil membuat langkahku terseok ketika keluar ruangan untuk menuju bis, hingga akhirnya sosok itu muncul. Membawa kamera dan terus tersenyum ramah, meski kutahu itu bukan untukku. Kamu masuk ke bis berplat nomor DK 9001 HO dan di luar kepala aku bisa mengingatnya. Mematrinya. Memberi namamu sesuai nama bis itu.
Aku tidak tahu rasa apa ini, yang jelas aku merindukan 9001. Merindukan senyum itu. Hingga senja bertolak, aku tak dapat mengelak. Melihat burung berterbangan pulang, benakku melayang. Ah, apa kamu juga memandang burung yang terbang, mengatakan betapa indahnya mereka di sana. Bersama, mengarungi langit senja yang megah.
Mengingat 9001 membuatku merasa berharga pernah meniti kaki di Bali. Bahwa Bali memang pulau yang luar biasa. Apa saja bisa terjadi di sana. Termasuk jatuh cinta.
Dan meski aku tak tahu di mana 9001, aku akan selalu menunggu. Menanti sesuatu terjadi di tengah senja hingga akhirnya senyum itu datang dengan tangan terbuka. Berkata bahwa Balilah yang menyatukan kita...

 

Template by Best Web Hosting