Senin, 09 Desember 2013

Kembali...

        Pernahkah, dalam seumur hidupmu, ada satu penyesalan yang selamanya berkelana di dalam benakmu dan menggerogoti dirimu hingga kau lupa bahwa masih ada hari esok yang menanti?
        Atau, saat di mana dirimu bukan dirimu yang dulu. Melainkan semacam reinkarnasi diri menuju sesuatu yang tak baik. Seperti kupu-kupu yang malah menjadi ulat bulu, atau seperti sungai keruh?
        Ini aneh. Ini datang tanpa pernah diimpikan.
        Apa ini karena seseorang baru yang sejenak, menghapus 'kamu'?
        Alam berbahasa tentang betapa tertinggalnya aku. Alam pun mulai berseru, bertanya di mana aku yang dulu. Di mana aku yang dengan tangan terkepal melawan awan dan berani terhadap mentari? Di mana aku yang dengan mudah menaklukkan duka dan menerjang air mata tanpa berpikir panjang? Kukira, diriku yang dulu, sedang terpenjara oleh diriku yang baru...
        Ingatanku kembali ke konferensi yang terjadi di gazebo teduh sekolah. Hanya ada tiga pasang kaki yang berpijak di sana. Aku, dan dua sahabatku.
        "Pernah nggak di antara kalian ada yang suka anak kelas?" sebuah suara membuka tabir hampa diantara kami. Punggungku menegak.
        Sahabatku yang berkulit putih melirik sekilas, seolah menyorotkan tanda tanya besar yang membuat lidahku kelu.
        "Kalau kamu?" beruntung sebuah pertanyaan menghalau bibirku bergetar. Itu dari sahabatku yang lain, panggil saja Diana. Matanya tak mengarah padaku. Tapi pada Virna.
         Virna terdiam sesaat. Manik matanya yang indah tertuju padaku. "Ya. Mungkin. Kalian?"
         Kini, kembali aku rasakan alam berbahasa. Aku terjebak di dalamnya.
         "Kamu?" sebuah suara membuatku sedikit tersentak.
         Tanpa aku sadari, Diana sudah mengutarakan isi hatinya tadi. Bahwa ia belum pernah merasa kagum pada siapa pun di kelas. Apa yang aku lakukan hingga aku bahkan tak mendengar apa yang mereka katakan. Alamkah yang menggiringku?
         Aku termenung sesaat. Mengingat pekatnya sesak yang sudah membusuk di dalam hati. Apa ini saat yang tepat? Salahkah jika aku mengatakan apa yang tak seharusnya aku katakan?
         "Hey.."
         Mataku dengan siaga kembali menatap dua mata yang haus akan jawaban. "Ya. Kagum. Hanya itu."
          Keduanya masih membisu. "Siapa?"

         Sudah kuduga. Itu pertanyaan yang tak awam.
         Aku menghela napas. Memejamkan mata dan mulai menghela udara. Deru suara air menyelimuti. Air mancur di sisi gazebo kian meninggi tertiup angin. Seketika ingin rasanya aku menjadi bagian dari alam. Menjadi satu di tengah ekosistem. Melihat kejadian-kejadian dan mendengarnya. Bukan turut andil di dalamnya.
        "Lupakan. Dia udah suka anak lain, kok." sebuah senyum getir tergambar. Dari bibirku. Penuh kebohongan, aku tahu itu.
         "Kenapa? Kamu kok bilang gitu?" tanya Virna.
         Kenapa? Kukira, karena aku adalah tokoh antagonisnya.
         Masih segar diingatanku, bagaimana caraku menyimpulkan bahwa dia datang di saat yang salah. Ya, dia, cinta.
           Dia sudah merenggut semuanya. Semangat itu. Rasa percaya diri. Prestasi. Waktu. Peluh.
           Entah mengapa, selalu ada rasa takut yang berujung pada firasat sesaat. Tentang apa jadinya jika aku benar jatuh cinta padanya? Mungkin itulah satu dari sekian alasan mengapa diriku yang dulu terbunuh. Karena diriku yang baru telah kemari, berusaha mencuri tubuhku dan menguasai kesadaran diri. Terkadang, baru tak berarti bagus untukmu.
           Dan saat ini, satu hal yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan aku yang dulu, adalah berhenti berfirasat tentang kemungkinan terdekat. Ya. Aku harus melaju dan menutup telingaku. Menatap setapak dengan tegap. Mengabaikan peran antagonis. Menghapus derai tangis. Dan kali ini, sekali lagi aku berseru, "Tunggu aku yang dulu. Aku yang bahkan lebih terang dari kilau bintang paling benderang!"
         
        
        -Today-

Kamis, 05 Desember 2013

Pelukan Hujan

        Read it Before
        Kau tahu, mungkin imajinasiku sudah kelewatan batas. Ya, ketika aku terpaku pada sang mendung, sosokmu bahkan seolah muncul. Seperti fatamorgana yang dengan mudah membuatku terpana. Saat itu, aku masih mengamati mendung, namun kedua pasang sepatu itu berhenti di depanku. Bukan. Ya, tentu saja itu bukan kamu. Bukan sepatumu.
        Pemilik sepatu itu adalah teman sekelasku. Ia bertanya, "Ngapain kamu di sini?"
        Aku mengangkat kepala perlahan, kemudian sejenak menatapnya. "Aku... menunggu hujan."
        Hujan...
         Itu kejadian 3 hari yang lalu. Ketika dengan perasaan berapi-api aku berharap hujan tak akan datang. Akan tetapi, hari ini, di hari pertama butiran hujan turun, aku mampu menyimpulkan. Bahwa inilah saat yang tepat. Saat yang cepat atau lambat jelas akan datang. Saat di mana aku harus mengangkat bendera pertanda menyerah.
         Mendung sudah menyergap langit lama. Dan ketika aku tengah berkutat dengan pasal-pasal, kudengar alunan hujan. Detik itu juga, senyumku tergurat. Samar.
         Dalam diam aku bergumam, ketika hujan bertandang, itu adalah pertanda di mana lembaran baruku terbuka. Dengan kata lain, doamu lah yang menjadi juara. Kamu kini bisa bersedih tanpa ada yang merasa bahagia di atas kesedihanmu.
         Ketika hujan menatapku, dengan mata sendu ku lihat kegelapan yang sepenuhnya menguasai angkasa. Hujan. Ya. bumi kini terjebak dalam pelukan hujan. Terjebak dalam kesedihanmu.
         Dan kini, satu hal yang aku tahu, bahwa kita memang tak bisa memaksa sesuatu yang tak selayaknya jadi milikmu.
- Mid November 2013-

 

Template by Best Web Hosting