Jumat, 10 Juni 2016

Miracles: What Do You Wish For at Night?







        Baju-baju kotor itu berputar dalam pusara air kecoklatan. Seirama dengan kuncir kudaku yang acak-acakan. Anak rambutku melambai-lambai malu ditiup udara. Kaos keabuanku nampak basah diujung-ujungnya.

        Nafasku terhela. Lelah.

        Sesuatu yang menggantung di atas sana mencuri sudut mataku samar-samar. Sesuatu yang membuatku merasakan kehangatan merambat melalui pembuluh-pembuluh darahku.

        Bulan.

        Jingga itu menggantung tak tahu malu. Terlalu indah. Terlalu memesona.

        Malam ini, malam ke lima di bulan Ramadhan, sesabit bulan tengah tersenyum renyah ke arahku. Jingganya seolah menggambarkan rona-rona bahagia yang tak biasa. Ada api disana. Api yang entah mengapa membuat darahku mendidih tanpa kutahu alasannya. Sebuah percik api yang menyulut harapan baru.

        Deru-deru mobil di luar sana menyeretku pada malam satu tahun yang lalu. Tentang percakapanku di tengah konser-konser kesunyian. Ah, aku benar-benar berdiri di sini. Lagi. Dengan harapan-harapan yang tiada habisnya. Bodohkah aku?

         Tanpa aku sadari, bulan dengan jingga yang memerah itu tak lagi disana. Kemana ia barusan?

        Mataku sibuk mencari. Hingga akhirnya aku menyadari setitik bintang memandangku disana.

        Aku teringat tentang kisah-kisahku dulu. Kisah tentang seragam abu-abu, kisah tentang Annisa kecil yang susah makan, kisah tentang hari pertamaku masuk sekolah. Ah, apa aku sungguh telah melewatinya? Secepat ini?


         Ujian-ujian itu. Ketakutan-ketakutan itu.

         19 tahun yang lalu, sepasang orang tua dengan harap-harap cemas menanti suara tangisku pecah. Tangis yang menghadirkan harapan baru. Doa-doa dari mereka. Perhatian-perhatian dari mereka. Lantas, apa yang sudah aku berikan detik ini?

         Aku percaya, bahwa Tuhan tidak pernah salah menyiapkan skenario untuk hambanya. Meski sering diri ini bertanya.


         Masihkah ada keajaiban itu ditanganku? 

         Mampukah aku?

         Bagaimana jika blablabla?



         Mengutip dari post blog satu tahun yang lalu,

         "Lalu, masihkah aku berdiri di tengah-tengah pemain konser kesunyian, tahun depan? Atau, sedang berdebar menanti pengumuman? Atau telah berbahagia dengan senyuman bangga?

         Aku selalu mengagumi waktu yang bergerak tanpa seijinku. Dan kuharap, kali ini waktu mengijinkanku mengatakan dimana aku ingin ia membawaku. Dan kuharap, apa yang kumau adalah yang terbaik untukku dan masa depanku."



        Semoga kabar baik itu datang padaku.



        -11 JUNI 2016-
00.06 tengah malam. Malam ke 5 bulan Ramadhan.
Annisa.

       



       


        

     


       

Jumat, 25 Maret 2016

Aku dan Abu-abu



        Deret-deret bangku kantin itu hanya beberapa yang berjajar dengan benar. Buku-buku penuh coretan nampak terbuka pertanda dibaca. Aku duduk dan meletakkan tasku pada sebuah meja kosong. Mataku memandang teman-teman yang beberapa sedang membaca, namun beberapa lainnya tertawa. 

        Hari terakhir ujian sekolah itu datang. Riuh rendah menggema memenuhi lorong dan ruang kelas yang terbuka. Hari ini.




        XII IPA 6

        Selalu, ada sebersit senyuman sekaligus kesedihan yang entah kenapa tiba-tiba bersahutan ketika melihat tingkah konyol mereka.

        Membayangkan tak ada lagi yang akan bergerombol membicarakan sesuatu yang kita sendiri bahkan tak mengerti.

        Tak ada lagi kata "Cieee" yang kompak kita lontarkan.

        Tak ada lagi berebut makanan ketika kalimat "Rek, ada yang mau?" terdengar.
   
        Tak ada lagi seragam putih abu-abu.

        Tak ada lagi tidur ala ikan pindang di belakang. Semuanya.Tak akan ada hal yang terulang seindah yang lalu-lalu bersama mereka.

        Aku melihat langit yang keabuan di tengah-tengah berlangsungnya ujian. Kenapa semuanya terasa begitu cepat sekarang?

        "Whooooo, hari terakhir ujian!" salah seorang temanku berseru. Senyumku mengembang samar. Nyaris seperti kutahan. "Ayooo Dota!"

        Tak berangsur lama, satu persatu dari mereka pun pergi. Melewati jalan yang berbeda-beda. Termasuk aku yang memilih melewati jalan depan.

        Langkahku kaku. Langit yang keabuan seketika menjeratku pada kesedihan yang tak dapat aku jelaskan. Kesedihan begitu aku menyadari bahwa, dalam hitungan hari, perjuangan yang sesungguhnya tiba.

        Aku menatap langit. Ah, benarkah dunia ini sempit? Lalu, masih mungkinkah kami dipertemukan kembali?

        Angin berangsur datang. Dalam diamku aku bergumam.

        Teman, jika pada akhirnya kita harus pergi ke jalan yang berbeda, semoga kita dipertemukan pada ujung yang sama. Kesuksesan. 

       

        Masa SMA... Untuk sebuah kisah antara aku dan abu-abu. Antara aku... dan kalian.Ya, kalian.


-25 Maret 2016-
       
 

Template by Best Web Hosting