Minggu, 26 Oktober 2014

Hitam dan Putih


        "...Seharusnya, sensasi kehadirannya direspon oleh talamus di kepalaku. Seharusnya, data itu diolah di pusat sensoris, dikirim ulang melalui girus singulata bersama talamus ke sistem limbik, Seharusnya, ada memori dan kebutuhan cocok dengan data itu dan memunculkan sensasi cinta..."

        Secangkir susu panas menguarkan uapnya ke udara. Meringkus udara dingin yang kebetulan datang malam itu. Aku menatap buku di tanganku terlampau serius. Mengupas sebuah teori yang semula tak mampu dilogikakan, adalah perkara yang tak mudah.


        Cinta.


        Entah sejak kapan aku mempertanyakan definisi dari sebuah kata yang kau sebut Cinta. Terkadang, lamunanku yang teramat panjang hanya mampu menyimpulkan setitik makna yang kapan pun berubah-ubah.

        Ada berjuta kisah cinta yang tak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Namun, segalanya tak lebih dari perasaan bahagia, sedih, kepercayaan, penantian, semangat dan putus asa. Mereka masih berputar disatu lingkaran yang sama.

        Seseorang berkata padaku, bahwa aku adalah orang yang amat beruntung, karena aku memiliki kisah cinta yang tak sepelik dirinya. Aku memasang senyuman dan mengiyakan hal itu. Akan tetapi, apa yang terlihat tak selalu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Benar bukan?

        Selalu, disebuah senja ketika kebanyakan murid telah meninggalkan kelas, mataku berkelana mencari ketenangan dari tiap sudut sekolah. Langkah lambatku melaju melawan dera angin sore itu. Mata coklatku tertuju pada pagar-pagar berkarat. Guratan senyuman tergambar di bibirku. Berpikir sesuatu.

        Pagar berkarat itu, apakah yang bisa kita lakukan untuknya? Menggantinya dengan yang baru?
        Sebuah senyuman hambar terpeta. Menyangkut pautkan kisah cinta orang-orang yang hadir dalam kehidupanku dengan kisah sederet pagar berkarat.


        Kalau masih bisa diperbaiki, kenapa harus cari yang baru?

        Banyak orang yang selalu ingin lebih maju. Sudah mendapat A namun menginginkan B yang ternyata melebihi A. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang tak pernah puas.

        Semua orang berhak untuk jadi lebih maju. Namun, salahkah jika kita meninggalkan seseorang yang kita cinta hanya untuk mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dirinya?

        Klise memang. Tapi tak ada jawaban pasti akan hal itu.

        Kita harus maju.

        Aku menghela napas. Mengumpulkan kembali permasalahan yang belum lama mengitari rongga kepalaku.

        Tentang seseorang yang tak pernah lelah menanti. Salahkah ia tetap terpaku pada satu tujuannya itu? Meski ia tahu ada sejuta hal yang lebih indah ada di depan matanya.

        Salahkah jika seseorang menunggu dengan sabar meski ia tahu tak pernah ada kabar datang untuknya walau sedikit? Benarkah jika ia seseorang yang tak pernah mau untuk maju?

        Aku kembali pada secangkir susu panasku yang kini menjadi dingin. Otakku serasa dipenuhi interupsi-interupsi yang sering terjadi di gedung pemerintahan. Tolak sana tolak sini.

       Sebuah lagu berirama sendu mencumbu gendang telingaku dengan sempurna. Mengikatku pada banyak cabang pilihan. Aku tahu, paradigmaku tak selamanya benar dan tak selamanya salah. Jika aku terjebak pada pilihan hitam dan pilihan putih, tak selamanya aku akan memilih putih, karena hitam bisa jadi lebih baik darinya. Hitam tak selalu hitam. Dan putih tak selamanya putih.

21.55
26-10-2014


       


0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting