Sabtu, 15 November 2014

Valuable Thing



        Sebuah sore di bulan November. Untuk kali pertama mendung yang teramat pekat datang.
 
        Aku baru pindah ke rumah lama yang kini jadi rumah baruku. Waktu memang tak pernah terang-terangan, tanpa aku sadari sejak kapan terjadi, waktu telah membawaku ke lima tahun ke depan. Padahal, masih segar diingatanku betapa dengan polosnya aku berlarian di depan rumah. Tak mengenal tugas matematika, cosinus, irisan kerucut, dan lainnya.

        Aroma hujan semakin terasa. Dengan ditemani sebungkus es krim Magnum aku memandang langit yang tak cerah. Sedikit bergumam tentang hal yang tak pernah aku mengerti.

    
        Time is valuable thing.


        Mulutku berhenti mengecap lumeran coklat lembut yang nyaris menetes. Sederet pikiranku menguar ke udara.

        Cahaya laptop yang berpendar di dalam remang kamar membuatku mampu melihat jelas laman yang tengah aku buka. Sebuah web tentang pendidikan dan sebuah web media sosial.

        Aku menghela napas seraya menutup tab media sosial. Merasa tak ada gunanya melihat keluh kesah orang tentang satu hal yang berinti sama. Pacar, jomblo, LDR, makian, amarah, gaya hidup mewah, dan keluh kesah lain yang teramat sangat membuang waktu.

        Ingatanku menghambur pada sepasang senyum kecil di tepi jalan beberapa hari yang lalu.

        Sejuta hal yang selalu aku bayangkan adalah, 'Apa yang anak-anak jalanan lakukan sekarang? Sudah makankah mereka? Apa yang dilakukan bapak tua penjual garam sekarang? Sehatkah ia?'

        Banyak hal yang telah aku buang. Lebih dari sebuah waktu yang amat berarti. Ini mengenai kehidupan orang lain. Haruskah aku duduk diam di kamar dan menyaksikan celoteh kosong orang-orang?

        Disebuah mendung yang tak juga menghadirkan hujan, aku merenungkan sesuatu. Tentang seberapa parahnya manusia telah dijajah teknologi. Membuat dunia seolah bahagia seutuhnya. Melupakan betapa banyak tangan-tangan pekerja keras itu butuh pertolongan. Air mataku menitik.

        Tak ada orang yang meminta dilahirkan di tengah kekurangan bukan? Lantas apa salah mereka?


        Mimpi baruku baru saja tumbuh. Dua buah mimpi yang akan aku tagih nanti.

        Pertama, mimpi untuk mendengarkan jeritan kecil anak-anak jalanan. Menjadi bagian dari penyulut semangat dari api-api semangat mereka yang saat ini padam. Menghapus titik demi titik air mata yang mereka tumpahkan.

        Aku ingin turun ke jalan. Membuka mata dunia mereka untuk bisa bangkit meski kemungkinan itu hanya sebiji.





        Kedua, untuk sebuah harapan tua namun masih bertahan hingga mati.


        Aku ingat tatapan teduh sepasang kakek dan nenek penjual batagor. Kisah cinta yang melebihi indahnya kisah Cinderella.


        Selalu ada keinginan memeluk kedua tubuh ringkih namun bertenaga baja itu. Dengan semangat dan senyuman ramah keduanya menjajakan batagor tiap sore. Padahal, masa tua adalah masa dimana mereka bisa duduk di atas kursi dan menikmati senja bersama cucu mereka. Namun, kedua kakek dan nenek itu memilih berjuang melawan panas demi sesuap nasi, bukannya merengek pada anak, atau malah mengemis di sudut lampu merah.

        "Makasih, ya, Nak Ayu."

        Aku membalas senyuman manis sang nenek. Seolah ada doa yang beliau pijarkan lewat tatapan. Teduh dan menghangatkan.

        Aku memandang mendung sekali lagi. Tersenyum simpul.

        Membayangkan betapa indahnya jika kelak ketika seluruh kulitku telah mengeriput, seseorang berkata padaku. "Terima kasih karena menjadi semangatku hingga aku masih berdiri disini saat ini. Aku sayang kamu."







        -Satnight-
15-11-2014
"Find what the most valuable thing in your life. Then you could keep living, stronger."
-NA-

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting