Sabtu, 15 Juni 2013

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Terbunuh Waktu

         Aku masih ingat, semua itu terjadi bertahun yang lalu. Ketika dua musim dingin dan dua musim semi berlalu seperti halnya langit biru yang akan berganti malam. Diam, namun menjanjikan. -Venisia




       Entah bermimpi apa aku sebelumnya, berjalan ke sekolah tempatmu menimba ilmu, seperti diuji oleh malaikat pencabut nyawa dengan tongkat besar di tangannya. Ini memang mimpiku, bukan deja vu. Mimpiku untuk bisa berusaha menunjukkan bahwa aku tak akan pernah menyerah.

        Dari lautan manusia yang ternyata seribu delapan ratus jumlahnya, aku berdesakan diantara mereka untuk menuju ke ruang tiga puluh satu. Di sanalah aku akan dites. 
        Hampir setahun yang lalu, terakhir kalinya aku melihatmu. Aku tak pernah tahu, setinggi apa kamu sekarang, seputih apa kulitmu, sekurus apa tubuhmu, seberandal apa dirimu. Entahlah, hanya sisa bayangan akan tatapan tajammu dan senyum samar saja yang dapat terukir di benakku yang dangkal. Jika aku memang salah memilih sekolah ini, setidaknya ada kisah yang mengatakan bahwa aku bukan manusia yang mudah menyerah.
        Aku berjalan melewati koridor dengan mata siaga. Menacari sosokmu yang setidaknya menyapa mataku. Hanya mataku, bukan diriku. Aku terpaku pada segala pelosok sekolah. Mereka bilang kau sedang UKK. Kamu sedang bergelut bersama angka angka dan kata yang membuatmu sakit kepala.
         Aku tak pernah benar-benar menjamin apa aku bisa duduk di salah satu bangku kelas sekolah ini atau tidak. Tujuanku cuma satu, kamu.
           Aku seperti bunga matahari yang mengikuti mentari. Kali ini, aku bunga matahari yang layu. Ya, karena aku kehilangan mentariku.
           Hingga tes usai, aku masih tak melihat sosokmu. Apakah ini tanda bahwa kita akan bertemu di waktu lainnya? Ketika aku sudah berseragam SMA? Berdasi sama dengan yang kamu punya?
           Sekarang, tak ada yang dapat aku lakukan. Hanya menunggu waktu membunuhku. Mengantarkanku pada surga atau neraka. Tempat di mana kita bisa satu sekolah, atau melanjutkan kisah berdarah yang tak ada ujungnya.
           Dan kuharap, surga adalah tempatku bertemu denganmu.. Di sini, di sekolah ini..

Minggu, 02 Juni 2013

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Ini Celah di mana Aku Harus Menyerah

Ketahuilah, semua manusia pasti punya batas kemampuan. Begitu pula aku. Aku mundur. Tapi, sahabatku berkata, kamu mundur untuk melangkah lebih jauh. Ya. Untuk saat ini, aku mengaku kalah, aku menyerah. Tapi aku masih percaya, cerita ini tak akan pernah ada akhirnya sebelum bahagia menyemat akhir endingnya. -Venisia


Butiran hujan berjatuhan memecah udara yang sebelumnya hangat. Dalam keheningan sendiri, Veni membuka lemari buku, mengambil sebuah buku berisi rumus matematika yang mencolok mata. Tapi sebuah buku lusuh mencuat di antara buku-buku tebalnya. "Buku ini?"

Venisia perlahan mengambil buku itu. Sebuah buku seukuran buku tulis dengan sampul coklat muda membalutnya. Ada tulisan tangan Venisia di depan. Tulisan yang hampir buram.

Venisia membuka halaman pertama buku itu.

"Aku percaya pada cinderella, bahwa ada saatnya cinta yang telah lama kau tunggu itu akan datang. Ia akan menghampirimu, menyapamu dan menjanjikan bahagia padamu," Veni membaca tulisan itu lamat. "Tapi ada juga saat di mana harus ada luka yang mendera dan air mata yang bercucuran. Seperti itulah sinema drama."

Venisia menghela napasnya. Jadi, apa ia bagian dari drama itu?

"Cinderella bilang, semua yang baik akan menang." kembali Venisia membaca kisah yang pernah dibuatnya. 

Hujan yang menari di luar rumahnya seolah memaksa Venisia memutar memori terbuang di benaknya. Ketika untuk kali pertama ia menyadari siapa dirinya. Ia bagian dari drama. Tapi ia adalah tokoh jahatnya.

"Varis sudah punya bidadarinya. Dan aku? aku berusaha merebut kebahagiaannya.."

Venisia merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Sesak.
Selama ini, ia bukan puteri baik hati yang kelak akan berdiri di sisi pangeran. Ia adalah tokoh kejam pembawa kegelapan. Ia akan kalah, karena ia tak punya apa-apa. Tapi mengapa harus ia? Mengapa tokoh jahat tak bisa menang?

Venisia bangkit dan mengambil telephon genggamnya. Beberapa detik berlalu, termakan waktu. Venisia mengeluarkan kartu berbentuk persegi yang terpasang di telephone genggamnya. Meremas benda itu dengan hati memanas. Bergumam sesuatu yang amat berat. "Terima kasih karena bersedia berbagi kisahmu di sini. Tapi aku tahu siapa aku. Sekali lagi terima kasih." Sebutir air mata berderai bersama desah keputusasaanya.

Sudut mata Venisia dibanjiri air mata. Terluka. Bersalah.
Ia memejamkan mata dan ketika ia membukanya, kartu berisi nomor Varis sudah terbelah menjadi dua. Seketika, hanya ada suara jerit hatinya yang tersisa. Karena Venisia menyerah. Ya, menyerah.




 

Template by Best Web Hosting