Ketahuilah, semua manusia pasti punya batas kemampuan. Begitu pula aku. Aku mundur. Tapi, sahabatku berkata, kamu mundur untuk melangkah lebih jauh. Ya. Untuk saat ini, aku mengaku kalah, aku menyerah. Tapi aku masih percaya, cerita ini tak akan pernah ada akhirnya sebelum bahagia menyemat akhir endingnya. -Venisia
Butiran hujan berjatuhan memecah udara yang sebelumnya hangat. Dalam keheningan sendiri, Veni membuka lemari buku, mengambil sebuah buku berisi rumus matematika yang mencolok mata. Tapi sebuah buku lusuh mencuat di antara buku-buku tebalnya. "Buku ini?"
Venisia perlahan mengambil buku itu. Sebuah buku seukuran buku tulis dengan sampul coklat muda membalutnya. Ada tulisan tangan Venisia di depan. Tulisan yang hampir buram.
Venisia membuka halaman pertama buku itu.
"Aku percaya pada cinderella, bahwa ada saatnya cinta yang telah lama kau tunggu itu akan datang. Ia akan menghampirimu, menyapamu dan menjanjikan bahagia padamu," Veni membaca tulisan itu lamat. "Tapi ada juga saat di mana harus ada luka yang mendera dan air mata yang bercucuran. Seperti itulah sinema drama."
Venisia menghela napasnya. Jadi, apa ia bagian dari drama itu?
"Cinderella bilang, semua yang baik akan menang." kembali Venisia membaca kisah yang pernah dibuatnya.
Hujan yang menari di luar rumahnya seolah memaksa Venisia memutar memori terbuang di benaknya. Ketika untuk kali pertama ia menyadari siapa dirinya. Ia bagian dari drama. Tapi ia adalah tokoh jahatnya.
"Varis sudah punya bidadarinya. Dan aku? aku berusaha merebut kebahagiaannya.."
Venisia merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Sesak.
Selama ini, ia bukan puteri baik hati yang kelak akan berdiri di sisi pangeran. Ia adalah tokoh kejam pembawa kegelapan. Ia akan kalah, karena ia tak punya apa-apa. Tapi mengapa harus ia? Mengapa tokoh jahat tak bisa menang?
Venisia bangkit dan mengambil telephon genggamnya. Beberapa detik berlalu, termakan waktu. Venisia mengeluarkan kartu berbentuk persegi yang terpasang di telephone genggamnya. Meremas benda itu dengan hati memanas. Bergumam sesuatu yang amat berat. "Terima kasih karena bersedia berbagi kisahmu di sini. Tapi aku tahu siapa aku. Sekali lagi terima kasih." Sebutir air mata berderai bersama desah keputusasaanya.
Sudut mata Venisia dibanjiri air mata. Terluka. Bersalah.
Ia memejamkan mata dan ketika ia membukanya, kartu berisi nomor Varis sudah terbelah menjadi dua. Seketika, hanya ada suara jerit hatinya yang tersisa. Karena Venisia menyerah. Ya, menyerah.
0 komentar:
Posting Komentar