Sabtu, 15 November 2014

Valuable Thing



        Sebuah sore di bulan November. Untuk kali pertama mendung yang teramat pekat datang.
 
        Aku baru pindah ke rumah lama yang kini jadi rumah baruku. Waktu memang tak pernah terang-terangan, tanpa aku sadari sejak kapan terjadi, waktu telah membawaku ke lima tahun ke depan. Padahal, masih segar diingatanku betapa dengan polosnya aku berlarian di depan rumah. Tak mengenal tugas matematika, cosinus, irisan kerucut, dan lainnya.

        Aroma hujan semakin terasa. Dengan ditemani sebungkus es krim Magnum aku memandang langit yang tak cerah. Sedikit bergumam tentang hal yang tak pernah aku mengerti.

    
        Time is valuable thing.

Minggu, 26 Oktober 2014

Hitam dan Putih


        "...Seharusnya, sensasi kehadirannya direspon oleh talamus di kepalaku. Seharusnya, data itu diolah di pusat sensoris, dikirim ulang melalui girus singulata bersama talamus ke sistem limbik, Seharusnya, ada memori dan kebutuhan cocok dengan data itu dan memunculkan sensasi cinta..."

        Secangkir susu panas menguarkan uapnya ke udara. Meringkus udara dingin yang kebetulan datang malam itu. Aku menatap buku di tanganku terlampau serius. Mengupas sebuah teori yang semula tak mampu dilogikakan, adalah perkara yang tak mudah.


        Cinta.

Kamis, 28 Agustus 2014

Minyak dan Air

        Lagi. Seminggu tanpa satu hari pun hari libur. Minggu tak lagi jadi waktu hibernasi atau lari dari sanderaan deretan angka. Bukan aku membencinya. Hanya sedikit mengeluh tentang keadaan yang melelahkan.

        Kepalaku sudah nyaris pecah ketika guru Kimia menjelaskan tentang alasan mengapa minyak dan air tak pernah bisa menjadi satu. Ya, aku tahu. Bukan lagi hal tabu mendengar kisah tentang minyak dan air yang tak menyatu. Aku terpaku begitu sang guru melanjutkan penjelasan.

        "Tapi ada cara membuat minyak dan air bersatu."

        Dahiku berkerut. Memikirkan alasan apa yang mungkin terlontar.

Selasa, 12 Agustus 2014

Gerhana dan Purnama


        Daun terakhir itu baru saja jatuh. Menapaki tanah yang sebenarnya tak ingin ia tapakki. Aku menajamkan pandangan. Mencoba berguru pada sehelai daun rapuh di seberangku.

        Sebuah pesan bertandang. Pesan dari seseorang yang selalu menjadi mentari pagi.
        Hari ini, bertepatan dengan hari yang bagi sebagian orang merupakan hari yang melelahkan, menjadi hari di mana aku tersadar akan sesuatu. Hari yang seolah menusuk ingatanku bahwa aku sudah melangkah jauh.

Rabu, 02 Juli 2014

Another Set of Wings



        Denting suara alunan nada membawa kembali pada satu kisah yang selalu berusaha aku singkirkan. Berusaha aku musnahkan hingga menjadi abu dan tertiup bersama debu. Akan tetapi, sadarkah kamu bahwa hadirmu selalu menjadi satu-satunya alasan yang membuatku mepertahankan deritaku. Ah, ini lucu. Tidak bagimu, tapi ya bagiku.
       Tidak untuk seseorang yang tak tahu menahu soal memendam rasa hingga dadanya berongga. Tercabik hingga bernanah. Tersayat hingga berdarah.
        Tuhan tak pernah memberi cobaan melebihi batas kemampuan. Dan percayalah, mencintaimu bukanlah cobaan bagiku. Melainkan anugerah meski hanya mampu melihatmu dari jauh.
        Tiap kali untaian doa terlontar dari bibirku yang bergetar, aku berdoa untukmu. Menitikkan air mata dengan nafas memburu. Berdoa dengan suara samar bahkan nyaris tak terdengar.
        Huft...
        Aku menarik napas dalam. Melepaskan udara seraya menyebut namamu.

        Sialnya, dadaku selalu bergetar! Selalu ada perasaan berat yang membuat air mataku tumpah!

        Selemah itukah aku? Sebodoh inikah perasaanku?

        Aku kembali menghelas napas. Dengan ketakutan aku tatap matamu, bertanya tentang masalah yang sedang aku dera. Berusaha untuk hanya menjadi temanmu. Berbagi kisahku dan mendengar kisahmu. Bukan kisah kita.

       “Jadi, kalau kamu jadi dia, kamu bakal menomor satukan siapa?”
        Kamu hanya diam. Berpikir.
        “Aku bakal bantu yang butuh dulu,” celetuk teman sebangkumu. 
        Aku terdiam. Kecewa dengan jawaban barusan.
       “Aku nomor satukan dua duanya.”

     Dan jawaban yang kamu sampaikan lebih dari cukup untuk menyadarkanku, bahwa kamu adalah orang yang akan selalu mencintai dan menghargai pasanganmu. Juga menghargai masalah sahabatmu.
       Terima kasih sudah mengetuk pintu dan memberikan pesan padaku, bahwa Cinta dan Sahabat bagai sepasang sayap yang selamanya akan menuntun kita. Membawa kita lebih tinggi dari sebelumnya. Sedikit saja sayap itu terluka, maka kita akan jatuh. Hanya terluka atau malah jatuh di atas muara penuh buaya.

-Juni 2014-

Jumat, 27 Juni 2014

Mengemas Benci

        Aku masih sibuk mengemasi benci yang menumpuk didadaku tentang kamu. Berusaha menyimpan benci ini bersama harapan semu yang aku tanam dulu. Aku hanya ingin membangun kembali sekat yang sudah kita buat. Mengokohkannya sehingga kita tak pernah lagi bisa saling sapa. Saling tatap mata.
        Masih segar diingatanku, ketika tiap kali ekor mataku mengikutimu. Dan kini, aku paham akan sesuatu yang disebut 'Pergi.' Bukan kamu yang memilih pergi, tapi aku. Perasaanku.
        Aku tidak ingin mengatakan tentang keberadaan 'Kamu' yang baru. Namun, malam ini, aku hanya ingin bersumpah pada sang angin bahwa aku tak akan pernah menghela udara hanya untuk sekadar merindukan kamu.
        Dan meski samar-samar kudengar deru petikan gitarmu, tak ada lagi perasaan yang merekah seperti dulu. Hanya mengingatmu, mengingat kenangan singkat tentang kamu. Singkat. Ya, sesingkat tatapanku dan tatapanmu yang selalu beradu.

       

Jumat, 18 April 2014

Dia, Kamu, dan Duniamu


        Masih ingatkah kamu bagaimana kita bicara tentang pemusik kesukaan kita? Berlomba-lomba menyebutkan lagu apa saja yang kita tahu. Dan nyatanya aku kalah. Kamu jauh lebih tahu. Seluk beluk mereka, lirik lagu mereka.
        Aku duduk di depan pohon kamboja berbunga merah muda. Di depan kelasku. Mengingat betapa sekat yang kini tercipta membuatku tak bisa leluasa. Bukan ini yang kumau. Tapi, arus itu menyeretku pada arus yang deras. Memecah arus kita menjadi dua. Ke sungai dan ke danau. Dan aku terjebak di arus yang berbahaya.
        Sebuah pesan bertandang di layar handphone ku...
        Aku hanya melirik sekilas seraya menghela napas. Entah mengapa perkataan salah seorang sahabatku kembali membuat nadiku berpacu.
        "Kalau dia udah kayak gitu, kamu nggak bisa diam aja. Maju. Kamu udah terlalu sabar."
        Aku melihat kamu datang dari kantin. Seperti biasa, wajahmu datar.

        Sekali lagi aku merutuk diri sendiri.

        Sebuah pesan kembali bertandang.

        Aku bangkit dan mulai duduk di jajaran bangku. Kamu, ada di belakangku. Tenggelam dalam duniamu. Memeluk gitarmu seolah kamu jatuh cinta padanya.

        Jemariku mulai sibuk membalas pesan. Akan tetapi, ketika untuk kali pertama, aku mendengar kamu bernyanyi, seluruh tubuhku membeku. Sebuah lagu cinta. Tak seperti lagu yang biasa kamu nyanyikan.

        Mungkin saja kamu baru bertemu bidadarimu?

        Tanpa kusadari, mataku berkelana. Ke arah gadis itu. Orang yang mungkin menyayangimu. Sama seperti kamu yang menyayanginya...

        -Rain's Tears-

Senin, 31 Maret 2014

[Cerita Bersambung] Astrid & Reyhan : Bulan dan Bahasa Alam

        Astrid.
        Dalam kebisuan yang beradu dengan deru hujan, mataku berkaca-kaca memandang raga yang seolah tak bernyawa. Ia bernyawa, karena detak jantungnya, karena denyut nadinya, karena hela napasnya. Tapi, tidak dengan perasaannya.
        Reyhan...
        Lututku bergetar menyaksikan. Melihat ia nampak berbeda di tengah tawa yang menggema di sekelilingnya. Matanya yang dalam memandang langit-langit sayu. Dan itu cukup membuatku sadar bahwa ini adalah jalan yang salah. Dalam pelukan sang hujan, air mataku meluruh. Ada sesuatu yang membuat dadaku nyeri, seperti sebuah belati menyayatnya hingga terbelah dua.
        "Astrid," sebuah suara membuat punggungku menegak. Kuseka air mata dengan punggung tanganku sesegera mungkin.
        Kening sahabatku tertekuk, mengguratkan pertanyaan yang tak akan kujawab.
        "Itu Mas Reyhan kan? Olahraga?"
        Aku hanya tersenyum getir. "Buruan balik. Pak Putra udah di kelas."
    
        Reyhan.
        "Han..." lelaki berkulit putih langsat itu menekuk kening. "Han!!!!"
         Aku tersentak. Berjuta bayangan yang berlalu lalang di benakku menghilang. Bukan berjuta. Melainkan sebuah bayangan yang menggerogoti benakku. Kamu.
        "Masalah apa, Han? Astrid? Kalian masih baik-baik aja kan sampek sekarang?"
        Salah satu sudut bibir ku terangkat. Kemudian aku mengangguk samar. "Kita baik-baik aja."
        "Han, beneran? Sebagai teman kos, ada sesuatu yang keliatan beda, Han!"
        Aku hanya tersenyum samar seraya bangkit. Membuat Rangga kian mengernyit. Sekilas kulihat kamu di sana. Dari balik pintu aula yang terbuka. Entah perasaanku atau memang ada kamu di situ, yang jelas hanya debu berterbangan yang tersisa di sana.

        Astrid.
        Hujan baru saja berhenti berderai. Kupandang telephone genggam yang seolah sudah dikelilingi sarang laba-laba. Tubuhku mulai bergerak ke arah jendela di sudut kamar. Membukanya hingga kulihat sesuatu yang berbeda di angkasa.
        "Bulannya indah."

        Reyhan.
        Aku baru selesai bergelut dengan angka dan rumus fisika. Aroma hujan yang masih tersisa, memaksaku melangkah keluar kosan. Langkahku terhenti ketika kulihat Bulan seakan memandangiku. Mengawasiku.
        "Bulannya indah."

        Astrid.
        Aku menghela napas dalam dan panjang. Menikmati udara seraya menengadah menatap bulan.
       Seandainya Mas Reyhan keluar sekarang...

        Reyhan.
        Ada sesuatu yang membuat nadiku berpacu lebih cepat tatkala melihat sang bulan. Sesuatu seolah berbisik padaku. Maka, dengan sendirinya jemariku mulai mengetik beberapa kata.
        "Astrid, bulannya bagus malem ini."

        Astrid.
        Aku masih terpenjara dalam pesona sang bulan, ketika tiba-tiba telephone genggamku bergetar.
        Pasti group kelas...
        Dengan ogah aku meraih benda itu, hingga mataku terbelalak ketika sebuah pesan singkat datang dari Mas Reyhan. Darahku berhenti mengalir. Seketika waktu seolah terhenti. Menyisihkan kebetulan yang membuatku percaya akan kekuatan cinta.

        Kita ada di bawah bulan yang sama. Memaknai bahasa alam tanpa pernah kita sadari. Dipayungi malam berbintang dengan aroma hujan. Maka, jika bulan dengan sejuta pesona itu bisa bicara, mungkin ia sudah berkata kepadaku tentangmu. Sebagai penyampai pesan mungkin?



To Be Continued...

-Untuk sahabatku, Astrid & Mas Reyhan. Kalian adalah sepasang sayap merpati. Saling mengimbangi. Kalian akan terbang tinggi bersama. Melawan angkasa dengan semangat dan rasa saling percaya. Pasti. Tapi, nanti. Setelah kalian lalui badai ini-
       

Minggu, 23 Februari 2014

Alas Kaki

       Aku memutar sebuah lagu lama yang kukenal dari teman sekelasku. Alunan gitar menyapa senyap udara. Begitu dalam dan tenang. Sebuah lagu dari maestro Indonesia. 'Iwan Fals'
       Aku merinding menyimak suara berat sekaligus hangat. Seperti disetrum listrik, tubuhku seketika tak berkutik.

       Andai kau ijinkan..
       Walau sekejap memandang 
       Kubuktikan kepadamu 
       Aku meiliki rasa

       Aku memejamkan mata. Meresapi tiap makna yang melayang di otakku dengan seksama. 

       Cinta yang kupendam 
       Tak sempat aku nyatakan
       Karena kau telah memilih 
       Menutup pintu hatimu
        
       Senyap.

       Aku menghentikan alunan lagu tanpa kusadari. Sadar diri bahwa aku tak cukup kuat untuk menelan pahit sedini ini.
       Hari ini adalah malam tahun baru. Malam di mana tahun akan bertambah satu angka. Tapi, apa yang akan berubah dariku?
      
       Aku ingat ketika umurku masih belia. Dengan harapan buta, aku mengharapkan mimpi kosong terjadi. Dan kini aku tahu diri, mimpi itu akan selamanya kosong jika aku tak pernah berusaha mengisinya, mencoba merealisasikannya.
       Waktu sudah beranjak jauh. Tapi aku baru melangkah sejengkal saja.
       Saat ini aku berjalan tanpa alas kaki, berjalan dengan luka yang tercipta dari kerikil kecil dan serpihan kaca. Itulah yang membuatku tak pernah bisa melangkah lebih jauh. Namun tidak dengan hari berikutnya. Aku akan berjalan dengan alas kaki bernama 'Mimpi'. Berjalan lebih cepat dan tepat.
       Maka aku kembali bertanya, apa yang akan berubah dariku di tahun 2014 ini? Jawabannya ialah, perasaanku. Perasaan yang rapuh.
-2013
Midnight-
 

Template by Best Web Hosting