Selasa, 12 Mei 2020

Pukul 3

Bangunkan aku pukul 3 nanti,

Agar aku tahu rasanya menahan kantuk dengan lutut tertekuk

Bangunkan aku pukul 3 nanti,

Sembari meraba-raba sinar di ujung pintu yang berbunyi ketika kubuka, semua tahu bahwa ada insan yang sedang berusaha

Bangunkan aku pukul 3 nanti, lagi.

Jika kemudian aku enggan berlalu, kamu tahu bahwa kamu memiliki kuncinya meski susah payah kau cocokkan

Bangunkan aku pukul 3, sekali lagi.

Lantas, pada alas yang terlanjur basah, menunduk bukan jadi suatu masalah meski jelas matamu meragu

Aku bangun pukul 3 malam ini.

Seperti dedaunan kering di depan rumahku yang kusapu shubuh kemarin, atau cucian kering yang jadi kehujanan karena tidak jua ku pindahkan, aku, masih menjadi seseorang yang tanpa bosan bertanya.

Seperti Ramadhan yang seringkali kulewatkan dengan ibadah dan pahala alakadarnya, bodohnya, aku mengulanginya lagi dan lagi.

AC rusak di kamarku, tembok kamar yang baru sebulan di cat, lemari tua berisi album keluarga, jalanan yang lengang, petasan yang tak lagi terdengar, semua hal yang kutemui berubah. Barangkali, aku benar-benar harus mencari, menjadi apa aku pukul 3 nanti.

Selamat tidur

Sabtu, 31 Agustus 2019

Sleep, I'll meet you in your dream




Seseorang pernah bertanya padaku,

"Apa hal yang paling kamu takuti?"

Banyak.

Banyak sekali.

Masa depan,

Hal baru,

Ketidakpastian.

Dan kita tetap disini, mengelilingi padang rumput hijau dengan bertelanjang kaki. Tangan kananmu melawan langit, menunjuk satu awan paling raksasa kemudian kamu berteriak lantang.

"Lihat itu."

Ujarmu.

Tanpa rasa takut.

"Kita bisa jadi apa pun di sini."

Angin siang itu menyapu ujung pipiku, kemudian kamu raih tanganku dan berlari menuju sungai kebiruan tak jauh dari tempat kita berdiri.

"Kita bisa memiliki apa pun di sini."

Tak ada suara yang keluar dari pita suaraku. Hanya senyum lebar dan detak jantung yang kencang. Takjub dengan tanah yang ku pijaki saat ini.

"Kamu mau apa?"

Kali ini pertanyaanmu membuatku terdiam cukup lama.

"Aku tahu," belum sempat kalimat terujar, kamu menyodorkan sebelah tanganmu tepat di depanku. Seolah mengatakan 'raih tanganku'.

Aku menggeleng samar, ragu. Tak mau.

Kamu tersenyum lebar seraya mengangguk. Seolah bisa melihat ribuan ragu yang terbang di atas kepalaku.

"Everything will be ok. Trust me, right?"

Angin berhembus lagi.

Teduh.

"Aku takut."



Raut wajahku mungkin seperti gadis kecil 5 tahun yang kehilangan orang tuanya. Namun,

Tanganmu dengan cepat menarik lenganku yang meski enggan, pada akhirnya luluh juga.

"Kemana kita?" tanyaku akhirnya.

"Ke tempat paling tinggi di dunia."

"Eh? Kamu tahu kan aku takut ketinggian?"

Kamu hanya melirik ku dengan senyuman simpul yang sulit sekali ditebak.

Barangkali, jika bisa ku sebut, kamu adalah orang paling berani yang pernah ku temui.

Tak lama, aku bisa mendengar debur ombak dan kicau burung yang sibuk mencari makan untuk dibawa ke sarang.

"Di mana kita?"

"Di tempat, di mana kamu tidak akan pernah merasa takut."

Keningku mengernyit. Kembali meragu. Lagi.

"Aku bisa mengubah awan di sana menjadi es krim vanilla kesukaanmu."

"Bagaimana caranya?"

"Apa kamu percaya padaku?"

Kamu menyodorkan tanganmu lagi. Kemudian menarik tanganku.

"Kamu percaya padaku?" tanyamu, mengulang kembali pertanyaan yang belum kujawab.

"Bagaimana jika aku bilang, bahwa segala yang kamu inginkan ada di balik ombak beriak itu?"

Aku kembali terdiam.

"Kamu percaya padaku?"

Tanpa basa-basi, kamu meraih tanganku dan menjatuhkan diri ke tengah buih ombak kelaparan dari tebing yang sama sekali tak pernah kubayangkan seberapa tinggi.

Sleep,
I'll meet you in your dream
Sleep, 
We'll have fun in the scene

And we go catch the fireflies together
And we go fly the kite in the ocean
And we go jump and climb into the sky

Kemudian, aku terbangun

Pagi sekali, seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Hey bangun, udah pagi!"

Sinar matahari datang dari sela-sela tirai kamar yang sengaja ku buka sejak semalam tadi. Suara gayung dan air samar-samar terdengar dari arah luar.

Di tangan kananku, masih terpasang jam tangan kayu dan kemeja kotak-kotak yang kupakai semalam. Tertidur aku rupanya.

Tiba-tiba, sebuah pesan datang.

"Good morning. I am sorry about yesterday. Maaf karna bikin kamu sebel, hope today will be better. Jangan lupa senyum, biar makin cantik."

Barangkali, mimpi indahku tak selalu indah. Begitu pula mimpi burukku, yang tak selalu buruk.

Sebab, aku hanya butuh 1 keberanian darimu untuk mengusir berjuta rasa takut yang kumiliki.

Selamat datang, selamat berjuang.


Kamis, 06 Desember 2018

Night Thought



Beberapa hari yang lalu, seseorang mengetuk pintu kamarku gusar. Tidak ada setitik pun jeda kudengar dari dentuman penuh kepanikan dibalik kaku-kaku jarinya yang kering, -sebab terlalu sering mencuci dan menyapu-, ia hanya terus mengetuk dan mengetuk.

Kubuka pintu kamarku sedikit ragu. Kemudian menerka-nerka apa yang sebentar lagi akan terjadi.

Seorang wanita paruh baya bermata dalam itu menatapku sendu.

"Mbak, saya minta tolong transferkan uang ini ke anak sama suami saya, Mbak."

Aku terdiam tak tahu harus bicara apa.

Orang bilang, mencampuri urusan orang lain adalah hal yang salah. Lalu, bagaimana jika ia meminta bantuan?

Belum usai kepalaku mencerna kalimatnya, ia kembali berkata lirih.

"Saya ndak boleh keluar sama Ibuk, Mbak. KTP saya diambil."

Setengah mati aku berusaha menyembunyikan guratan di tengah dahiku yang berjerawat itu pertanda bingung dan tidak percaya.

"Saya kebawah dulu mbak. Takut ibuk dengar."

Tidak ada hal lain yang aku lakukan selain mengangguk. Namun, sedetik setelah wanita paruh baya itu membenamkan 6 lembar uang lima puluh ribuan ke dalam genggamanku, aku terduduk lama di sudut ranjang dan tanpa sadar, aku, menangis.

Perihal rumah, ku dengar, ialah tempatmu merasa hangat ketika suhu udara disana dingin.
Perihal rumah juga, ku dengar, ialah tempatmu merasa nyaman bahkan ketika kau tak tahu menahu tentang apa yang akan datang menghardikmu di depan.
Perihal rumah jua, ku dengar, ialah rindu yang tiada pernah ada habisnya kau bisikkan meski debu menutupi setengah tubuhnya.

Aku mendengar semuanya. Tentang rumah. Tentangmu.



Barangkali, kita seringkali tidak pernah sadar. Atau bahkan sengaja untuk tidak menyadari.
Bahwa, bahagia bukan hanya soal materi. Lantas?

Hapeku berdering tak lama setelah tangisku mereda.

Seseorang dari kota nan jauh mengirimkan pesan singkat padaku.

"Aku udah lebih baik sekarang. Kangen Surabaya!"

Aku lega membaca sederet kalimat yang ia kirimkan.
Terlebih, ketika aku mengingat sebuah berita yang kawanku sampaikan beberapa hari lalu tentang kepergian orang-orang bahagia dengan cara yang tidak seharusnya.

Hari itu aku terduduk memandangi kaktus hijauku lama. Barangkali, berdiskusi di malam hari membuatku selalu merasa lebih baik. Namun, seseorang di sudut panggilan menyimpan suaranya dan memilih jalan yang berbeda.

Malam sekali, aku memilih untuk bicara dengan kening mencium lantai. Menanyai tentang hal apa yang harus kulakukan setelah ini. Meruntut satu persatu taliku yang mulai kusut. Tentang teman lama yang sedang berjuang setengah mati kemudian berniat untuk kembali, tentang seorang ibu yang setiap malam bertanya-tanya bagaimana cara menghubungi anaknya, tentang masa depan yang akan kupilih setelah mengisi selembar kertas pemberian ketua kelas, tentang passport yang kusembunyikan dibalik Al-Quran dan segala hal yang aku sama sekali tak mengerti bagaimana nantinya akan terjadi.

Ambisi ambisi menggebu.
Goals goals yang memenuhi dinding.
Harapan-harapan besar tentang impian lama yang sempat menjadi 'andai saja' hingga menjadi 'tinggal sedikit lagi'

Hari itu udara dingin. Namun aku tidak pernah membiarkan kipas di sudut ruanganku diam.
Di bawahnya, boneka kecil berbentuk kakek tua yang tengah tersenyum menarik perhatianku. Mengingatkan ku pada senyum seseorang.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirku terangkat.

"Bukan perihal kemananya. Atau naik apanya. Tapi sama siapanya."

Perihal menjadi tua, aku selalu bertanya tentang bagaimana rupaku nanti ketika aku menginjak usia yang tak lagi muda.
Sudahkah dan mampukah aku melalui segala fase sulit yang kehidupan suguhkan nanti di depan?

"Matamu coklat. Stunning banget."

Hari ini, seseorang yang kukenal banyak terdiam. Kemudian, kudenger ia bicara, "Matamu kok nggak coklat lagi?"

Menjadi orang yang mudah menangis adalah hal yang sesebenarnya tidak aku inginkan.
Namun, boneka kakek tua kecil yang kupandangi lekat itu membuatku semakin berani. Bahwa, segala hal akan jadi baik-baik saja jika mau saling mengintrospeksi diri.

Cerita-cerita yang sampai ke telingaku barangkali tidak sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah. Beberapa hal datang untuk membuat kita belajar. Beberapa hal juga datang untuk terus kita jaga agar tidak pudar warnanya.

Lantas, malam ini, di sudut ranjangku yang berdenyit, sekali lagi aku menyusun segala hal dari awal. Kemudian, aku tersenyum samar dan menyimpan benda yang semula ku pegang disamping ranjang.


Selamat malam

Sabtu, 20 Oktober 2018

Rumah; Waktu, dan Perjalanan



Ku bilang,

"Aku rindu rumah."

Suaraku nyaris tidak terdengar karna ditelan suara-suara pengunjung di sana.

Kamu kebingungan karna tiba-tiba, selepas tawaku yang panjang, sesuatu justru menitik deras.

Buru-buru kamu menghapusnya.

Namun yang ada, aku semakin terisak karna sebuah alasan yang kupanggil, Rumah.

Segelas teh yang kau pesan mungkin tidak se beku suasana malam itu.

"Kamu capek. Ayo pulang ya."

Malam sekali, kita terpaku di sebuah bangku yang hanya muat untuk kita berdua. Menyelami pikiran masing-masing hingga tenggelam.


Kuingat ketika masing-masing dari kita duduk dibalik kaca jendela, dengan silau lampu apartemen yang memandang kita satu per satu seolah menghakimi sesuatu yang sebenarnya tidak kita lakukan.

"Aku melewati banyak hal di masa lalu."

Aku melirikmu berulang kali. Matamu mulai menangkap gerikku dan mengernyitkan kening.

Kudengar semua hal jahat tentang kota dan apa-apa saja yang bersembunyi dibalik gang-gang gelap dan lembab.
Dan, seseorang yang kau pandangi itu, adalah gadis penakut yang dimatanya mudah sekali berkaca-kaca.
Namun, dengan segala keberanian yang ia simpan terlalu dalam, ia mencari-cari namamu dan meneriakkannya di tengah bintang yang dipandanginya tiap malam.

Barangkali, seseorang dari masa lalu datang hanya untuk menanyakan kabar dan memastikan bahwa mereka tak benar-benar kita lupakan.

Seperti itu cara kerjanya.

Malam itu, sebuah vas bunga memperhatikan perbincangan beku kita mengenai waktu dan perjalanan.

Pelan, ekor mataku menghadapmu lagi. Menangkap sudut hidung dan rambutmu yang sama sekali tidak asing dimataku. Yang selalu berhasil membuatku tersenyum kecil di sudut ranjang hingga nyaris terjungkal.

Aku meminta secarik kertas dan mulai menceritakan banyak hal.

Tentang kerinduanku pada rumah dan masakan keasinan.

Tentang sahabat masa kecil dan lecet yang kubuat akibat berlarian mengejar kereta api yang mengangkut tebu.

Tentang sebuah piala kecil dan sejarah bunga kamboja yang terpajang di foto fashion show ku

Tentang mobil tua pemberian bos ayahku dan banjir di tengah kota setinggi paha.

Tentang mayoret dan kebanggan bahwa aku pernah menjadi kurus dulu.

Aku selalu suka caramu menimpali.

Mengagumi setiap kisah yang masing-masing kita pernah lalui.

Barangkali, waktu dan perjalanan adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Dan kamu,

Adalah sesuatu yang selalu amat kusyukuri kedatangannya.

Sebab, dibalik tangan yang kau julurkan, kulihat waktu dan perjalanan yang berdiri berdampingan. Datang dengan se bucket besar harapan dan pertanyaan-pertanyaan klise yang berulangkali kutanyakan, namun kamu selalu berhasil membuatku mengangguk tanpa jeda.

Aku selalu menjadi seseorang yang kekanakan.

Menjadi satu-satunya yang ingin dimengerti.

Akan tetapi, serupa racun, bisa jadi ia miliki penawarnya.

Membuat sesuatu yang kusut menjadi lurus kembali

Membuat sesuatu yang menakutkan menjadi penuh semangat

Membuat sesuatu menjadi lebih baik. Lagi dan lagi.

Aku memandangi wajah lelahmu lekat-lekat.

Kemudian kamu tersenyum.

***

Dan sekali lagi, dibalik lelapnya tidurku malam itu, seseorang bertanya.

"Lantas, kenapa dia?"

Aku tersenyum, seperti caramu tersenyum, dan menjawab.

"Karna, ketika kupandangi wajahnya, yang kuingat hanya satu.

Yaitu,

Rumah."
 

Template by Best Web Hosting