Kamis, 06 Desember 2018

Night Thought



Beberapa hari yang lalu, seseorang mengetuk pintu kamarku gusar. Tidak ada setitik pun jeda kudengar dari dentuman penuh kepanikan dibalik kaku-kaku jarinya yang kering, -sebab terlalu sering mencuci dan menyapu-, ia hanya terus mengetuk dan mengetuk.

Kubuka pintu kamarku sedikit ragu. Kemudian menerka-nerka apa yang sebentar lagi akan terjadi.

Seorang wanita paruh baya bermata dalam itu menatapku sendu.

"Mbak, saya minta tolong transferkan uang ini ke anak sama suami saya, Mbak."

Aku terdiam tak tahu harus bicara apa.

Orang bilang, mencampuri urusan orang lain adalah hal yang salah. Lalu, bagaimana jika ia meminta bantuan?

Belum usai kepalaku mencerna kalimatnya, ia kembali berkata lirih.

"Saya ndak boleh keluar sama Ibuk, Mbak. KTP saya diambil."

Setengah mati aku berusaha menyembunyikan guratan di tengah dahiku yang berjerawat itu pertanda bingung dan tidak percaya.

"Saya kebawah dulu mbak. Takut ibuk dengar."

Tidak ada hal lain yang aku lakukan selain mengangguk. Namun, sedetik setelah wanita paruh baya itu membenamkan 6 lembar uang lima puluh ribuan ke dalam genggamanku, aku terduduk lama di sudut ranjang dan tanpa sadar, aku, menangis.

Perihal rumah, ku dengar, ialah tempatmu merasa hangat ketika suhu udara disana dingin.
Perihal rumah juga, ku dengar, ialah tempatmu merasa nyaman bahkan ketika kau tak tahu menahu tentang apa yang akan datang menghardikmu di depan.
Perihal rumah jua, ku dengar, ialah rindu yang tiada pernah ada habisnya kau bisikkan meski debu menutupi setengah tubuhnya.

Aku mendengar semuanya. Tentang rumah. Tentangmu.



Barangkali, kita seringkali tidak pernah sadar. Atau bahkan sengaja untuk tidak menyadari.
Bahwa, bahagia bukan hanya soal materi. Lantas?

Hapeku berdering tak lama setelah tangisku mereda.

Seseorang dari kota nan jauh mengirimkan pesan singkat padaku.

"Aku udah lebih baik sekarang. Kangen Surabaya!"

Aku lega membaca sederet kalimat yang ia kirimkan.
Terlebih, ketika aku mengingat sebuah berita yang kawanku sampaikan beberapa hari lalu tentang kepergian orang-orang bahagia dengan cara yang tidak seharusnya.

Hari itu aku terduduk memandangi kaktus hijauku lama. Barangkali, berdiskusi di malam hari membuatku selalu merasa lebih baik. Namun, seseorang di sudut panggilan menyimpan suaranya dan memilih jalan yang berbeda.

Malam sekali, aku memilih untuk bicara dengan kening mencium lantai. Menanyai tentang hal apa yang harus kulakukan setelah ini. Meruntut satu persatu taliku yang mulai kusut. Tentang teman lama yang sedang berjuang setengah mati kemudian berniat untuk kembali, tentang seorang ibu yang setiap malam bertanya-tanya bagaimana cara menghubungi anaknya, tentang masa depan yang akan kupilih setelah mengisi selembar kertas pemberian ketua kelas, tentang passport yang kusembunyikan dibalik Al-Quran dan segala hal yang aku sama sekali tak mengerti bagaimana nantinya akan terjadi.

Ambisi ambisi menggebu.
Goals goals yang memenuhi dinding.
Harapan-harapan besar tentang impian lama yang sempat menjadi 'andai saja' hingga menjadi 'tinggal sedikit lagi'

Hari itu udara dingin. Namun aku tidak pernah membiarkan kipas di sudut ruanganku diam.
Di bawahnya, boneka kecil berbentuk kakek tua yang tengah tersenyum menarik perhatianku. Mengingatkan ku pada senyum seseorang.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirku terangkat.

"Bukan perihal kemananya. Atau naik apanya. Tapi sama siapanya."

Perihal menjadi tua, aku selalu bertanya tentang bagaimana rupaku nanti ketika aku menginjak usia yang tak lagi muda.
Sudahkah dan mampukah aku melalui segala fase sulit yang kehidupan suguhkan nanti di depan?

"Matamu coklat. Stunning banget."

Hari ini, seseorang yang kukenal banyak terdiam. Kemudian, kudenger ia bicara, "Matamu kok nggak coklat lagi?"

Menjadi orang yang mudah menangis adalah hal yang sesebenarnya tidak aku inginkan.
Namun, boneka kakek tua kecil yang kupandangi lekat itu membuatku semakin berani. Bahwa, segala hal akan jadi baik-baik saja jika mau saling mengintrospeksi diri.

Cerita-cerita yang sampai ke telingaku barangkali tidak sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah. Beberapa hal datang untuk membuat kita belajar. Beberapa hal juga datang untuk terus kita jaga agar tidak pudar warnanya.

Lantas, malam ini, di sudut ranjangku yang berdenyit, sekali lagi aku menyusun segala hal dari awal. Kemudian, aku tersenyum samar dan menyimpan benda yang semula ku pegang disamping ranjang.


Selamat malam
 

Template by Best Web Hosting