Aku tak pernah sekali pun
menyalahkan sesuatu yang mereka sebut Cinta, hanya saja, aku membenci
caranya... Membenci Cinta yang datang tanpa seijinku, membenci Cinta yang
tumbuh dengan derai air mataku, membenci Cinta yang lahir karena ketidakmampuan
diriku..
Mentari kian meninggi. Sementara
Venisia masih berharap keajaiban akan terjadi hari ini. Pelajaran Pengetahuan
Sosial, atau lebih tepatnya ekonomi ia lewatkan hanya untuk menantikan
kesempatan langka. Ya, tidak benar-benar langka, hanya saja jarang adanya. Saat
di mana Veni bisa melihat keagungan tuhan dalam menciptakan. Menciptakan
pangeran seperti Varis.
Veni
berjalan di lorong sekolah seraya memasang matanya waspada. Ia menilik
gerombolan kelas senior memalui celah dedaunan.
Ia
mendengus sekali. “Ini lebih baik, dari pada aku harus duduk di kelas sampai
pantatku panas. Cuci mata.”
Tanpa ia
sadari, Veni terus memerhatikan gerik Varis. Mulai dari ciri khasnya bermain
bola sepak di lapangan kala itu. Hingga berapa kali Varis dimarahi guru karena
melanggar aturan permainan bola sepak, Veni masih ingat.
Tak
lama, seorang teman wanita Varis mendekat ke arah sang pangeran yang masih
terengah napasnya. Teman sekelas Varis yang manis dan populer itu kian
mendekat. Gadis itu mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah botol air
mineral. Tepat didepan Varis yang beberapa inci lebih tinggi dari gadis itu.
“Hyah!!
Ngapain kakak kelas itu?” dengus Veni kesal.
“Varis,
ini, minum ya. Kamu udah berusaha keras, kenapa sih itu guru malah marah ke
kamu?” gadis di hadapan Varis tersenyum manis, terlalu manis hingga membuat
Veni mual melihatnya.
Varis
hanya mengangkat sebelah alis seraya menerima tanpa banyak bicara. “Gila, di
saat ada cewek yang baik sama dia, tuh cowok masih sempat sok Jaga Image
gitu?!” rutuk Veni tiba-tiba.
Berselang
berapa menit, seseorang datang dan menepuk bahu Veni perlahan. “Bentar,
tanggung, bentar lagi pelajaran olahraganya selesai,” timpalnya. “Bentar lagi
balik ke kelas kok, tenang, Kay.”
“Venisia
Eka, sepertinya kamu tadi absen pada pelajaran saya, kenapa kamu ada di sini?”
Seseorang menepuk bahu Veni sekali lagi.
Veni
mengedipkan mata untuk memastikan ini nyata. “Oh.. Eh.. Ih.. Anu.. iya.. kenapa
ya? Oh iya, saya tadi ada urusan sama wali kelas. Mangap, Bu, Eh, aduh, Maaf
Bu! Lain kali kalau saya ada keperluan mendadak akan konfirmasi terlebih
dahulu. Maaf,” sesal Veni.
Sang
guru yang melotot setengah heran seperempat bingung hanya bisa mengiyakan dan
pergi entah kemana. “Untung, Hufffttt,” Venisia menepuk dadanya lega. Lantas ia
kembali ke tujuan semula dan ia mendapati Varis telah tiada.
“Kemana
tuh orang?”
^^^
“Ven,
akhir-akhir ini nafsu makan kamu makin tinggi. Terus kemaren, eh nggak deh,
tiap hari Rabu, kamu selalu ngilang tanpa ijin aku. Kemana? Kamu juga sering
senyum nggak jelas.”
Veni
mengurungkan niatnya melahap roti isi selai kacang dan menatap mata sendu
Kayla, sahabatnya.
Sejenak
ingatan akan Varis berterbangan di benaknya. Ingatan yang berjalan seperti
gulungan film bisu. Di mana Veni bisa melihat Varis yang tertawa renyah, di
mana Veni bisa melihat Varis tersenyum manis, di mana Veni bisa melihat Varis
meringis menahan pipis.
“Ven?
Halooo..,” Kayla mengayunkan tangannya di depan wajah Veni. “Kenapa sih?”
Veni
mengulum senyum yang susah dipahami. “Jangan tanya kenapa, Kay. Karena aku juga
nggak tahu sebenernya kenapa aku ini.”
“Aneh.
Eh btw, tahu nggak Kak Varis kecelakaan kemaren. Sepulang sekolah. Udah tahu
belum?”
“Apa?
Sumvah? Serius? Pantes perasaanku nggak enak sejak kemaren! Seharian ini juga
belum kelihatan! Di mana, di mana dia sekarang? Siapa yang nabrak? Siapa?
Kenapa bisa ketabrak? Siapa saksi matanya?! Jam berapa kejadiannya?”
“Mulut
lo sampek berbusa ngomong segitu banyaknya. One by One, okehh? Semua butuh
proses, jangan langsung...”
“Sekarang
gimana keadaannya? Dia nggak kenapa-napa kan? Iya kan?”
“Ven,
heran deh sama kamu. Dia juga bukan siapa-siapa kamu kan? Kenapa heboh sih? Aku
aja yang satu ekstrakulikuler biasa aja. Paling juga luka dikit tuh orang,
lagian pasti dia yang ngebut. Cowok berandalan, keras kepala, sombong pula.
Nggak kaget kalau ada insiden begitu.”
“Ya,
tapi kan dia juga manusia. Kalau kakinya patah, terus diamputasi gimana? Atau..
dia hilang ingatan?”
“Imajinasi
tingkat tiinggi! Auk ah, gelap. Tanya aja sama Mirna dan kawan-kawan, dia kan
gudangnya gosip.”
“Wokeh,
bener. Gue ke Mirna, dadahhh!”
“Eh,
tega! Jadi gue sendirian nih? Heh! Veniiiiii!”
^^^
Kenapa?
Kenapa? Kenapa aku terus melontarkan pertanyaan kenapa?
Berulang
kali aku menyadarkan diri, bahwa aku bukan tipemu, bahwa aku tak ditakdirkan bersanding denganmu.
Kenapa? Kenapa aku selalu mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi?
Venisia
membenamkan kepalanya begitu dalam di atas bantal berbentuk kepala monyet
coklat. Pikirannya kalut. Seakan ada benang kusut yang membuat otaknya berhenti
bekerja. Veni bingung. Ia gundah, resah, dan mulai putus asa.
“Varis,
kenapa kamu selalu buat aku khawatir?”
Veni
terus dan terus mendesah resah. Andai saja Varis benar separah yang ia
bayangkan, harusnya ia berada di sampingnya, di sisinya, tapi itu hanya mimpi,
hanya imajinasi yang tak bisa terjadi.
“Mirna
bilang, Varis Cuma keserempet. Jadi pasti Cuma luka dikit, pasti! Jangan
mikirin dia terus! Jangan!”
Venisia
berulang kali menyadarkan diri. Berusaha mengubur dalam-dalam gambaran senyum
Varis. Mulai dari membaca buku, bermain game, hingga mendengarkan musik sudah
ia lakukan untuk menghapus memorinya tentang Varis. Yang ada, musik
dalam handphonenya yang didominasi musik melankolis justru membuatnya semakin
tenggelam dalam bayang Varis. Terutama ketika lagu lama dari DBSK dengan judul
‘How Can I’ berkumandang di kedua telinganya.
“Venisia!
Berhenti pikirkan Varis! Lihat dirimu! Lihatttt, kamu pendek, berisi, dan nggak
putih! Sadar! Varis itu pangeran, dan kamu hanya rakyat yang tak dibutuhkan!”
Bahu
Venisia mulai bergetar ketika ia menajamkan pendengarannya. Meresapi arti dari
lagu yang masih melantun lembut di gendang telinganya. Perlahan, amat perlahan,
benda bening itu mengalir lembut melalui celah pipinya yang bulat. Tangis tulus
yang sebelumnya tak pernah ada kini menabiri wajahnya. Menyelimuti
kepolosannya.
Kenapa?
^^^
Kang In Oh, haha
>.<
0 komentar:
Posting Komentar