Dan kini aku mengerti, mengapa
tuhan menciptakan rasa yang sulit dilukiskan ini. Ya, karena tuhan ingin
membuktikan dan menunjukkan padaku, bahwa tak ada satu pun hal yang percuma.
Dan aku yakin dengan perasaanku, meski aku tahu diriku tak pantas untuk itu...
Kesialannnya tadi pagi masih saja
menyisihkan kedongkolan di hati Veni. Sejak saat itu, ia jadi muak tiap kali
melihat kumis Pak Thomas yang setebal hutan hujan kalimantan itu muncul.
Bagaimana tidak, pagi-pagi ia sudah dihujani bebagai macam omelan yang membuat
telinganya merah. Tetapi, meski begitu, secara tak langsung, ada sesuatu yang
membuatnya sangat bahagia. Kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah singgah. Veni
bahagia, sangat bahagia, karena bisa melihat lebih dekat seorang senior yang
ternyata sangat manis. Ya, Kak Varis.
Veni
sungguh baru manyadari hal yang sangat fatal. Ia benar baru menyadari ternyata
ada saja pangeran yang hidup di jaman seperti ini, bahkan di sekolahnya!
Entah
apa yang mampu membuat Veni tersenyum seharian, tetapi, setiap kali wajah manis
Varis berkelebat, kedua sudut bibirnya akan reflek terangkat. Rasanya
menyejukkan namun hangat.
Sepanjang
pelajaran, tak ada satu pun kata yang terlontar dari tiap guru mampu
diingatnya. Hanya ada nama Varis yang melayang di otak Veni. Selama beberapa
bulan menuntut ilmu di sekolah yang semula ia anggap sangat membosankan, baru
kali pertama ini, ia sungguh berani mengganti kesaksiannya. Veni akan mengganti
paradigmanya tentang sekolah yang suram dan membosankan, karena sebaliknya,
sekarang, harinya serasa amat berwarna, mengalahkan semerbaknya warna pelangi.
Terlalu berwarna, hingga mungkin semua warna yang ada di bumi melebihi warna
yang ada di dalam hari-harinya.
Waktu
kian melaju, begitu pula perasaan Veni yang kian lama kian tumbuh. Setiap tujuh
hari dalam seminggu, tak ada satu hari pun yang terlewat dengan kehampaan.
Diam-diam ia memandang Varis yang tengah melaksanakan pelajaran olahraga.
Betapa kerennya Varis ketika mendreebel bola basket, dan betapa tangkasnya
Varis dalam menendang bola sepak, terlebih, ketika peluh bercucuran di kening
Varis. Ingin sekali Veni bisa menyeka peluh itu dengan sapu tangan, Oh! Dunia
pasti sangat indah bila ia bisa melakukannya. Veni suka semua hal tentang Varis,
bahkan ketika wajah Varis membentuk ekspresi aneh keika sedang dimarahi guru.
Namun, ada beberapa hal yang membuat Veni sangsi, yaitu kenakalan Varis, ia
terlalu berandal untuk ukuran Veni.
“Masa
sih Varis ngerokok?”
Beribu
kali Veni meyakinkan diri. Berjuta kali ia meyakinkan bahwa Varis bukan lelaki
yang seperti itu, ia hanya keras kepala dan tak mau diatur. Namun, kenyataannya
Varis memang anak yang nakal.
“Hah?!
Dia juga pernah minum?!” reaksi Veni selalu sama ketika mendengar kabar
mengagetkan dari Mirna, teman sekelasnya yang hobi gosip.
“Masa
Varis seberandal itu? MASA VARIS SEBADUNG ITU??”
Veni
terus diliputi perasaan bingung. Salahkah ia menyukai orang macam Varis?
^^^
Siang
beranjak sore kali ini, Veni dan Kayla kebagian tugas piket mingguan. Mau tak
mau, mereka harus pulang telat.
“Ven,
tolong ambilin sapu yang ada di gudang sekolah dong. Sapunya nggak ada nih,
kita mau nyapu pakai apa?”
“Kok
aku? Sekolah udah sepi banget. Gudang kan serem. Kamu aja deh, biar aku yang
hapus papan tulis. Hehe, boleh ya?”
“Ven,
kakak kelas kan ada pelajaran tambahan, jadi sekolah nggak seberapa sepi.
Gudang deket sama kelas senior. Udah gih, sana, buruan, kalau nggak aku laporin
ke ketua kelas kalau kamu nggak ikut piket.”
“Sekarang?
Hari ini? Kakak kelas ada tambahan pelajaran? Bukannya Cuma pagi ya?”
“Udah
Venisia, cepetan!”
“Oh,
eh, iyahh, he-em, galak amat sih jadi orang. Tega banget, masa mau ngelempar
temen pake penghapus papan seenaknya. Nanti aku item semua.”
“Veniii!!”
“Iyaaaa,”
Veni berlari terbirit-birit menjauhi gebukan Kayla.
Venisia
bejalan menyusuri koridor sekolah yang agak remang. Dengan sigap berjalan
dengan langkah yang dipercepat. Begitu beberapa meter dari kelas senior,
gendang telinganya menangkap suara Pak Thomas yang menggelegar itu.
Veni
menoleh melihat suasana kelas yang tengah diajar Pak Thomas. Ya, kelas Varis
tentunya, sudah pasti pangeran itu ada di dalam dan terkantuk-kantuk
mendengarkan. Ketika Veni melewati pintu dan menolehkan kepalanya, seketika
itu, ternyata Pak Thomas dan beberapa siswa sedang mengarah pandang ke arah
pintu yang terbuka, tepat ketika Veni lewat.
Veni
melotot dan hanya tersenyum samar.”Siang, Pak,” sapanya menunduk.
“Siang,
eh, kamu... Kenapa belum pulang? Sekarang sudah jam berapa, hah? Kamu pacaran
ya? Heh! Jangan lari!”
Senyum
Veni yang semula merekah berubah. Ia menggigit bagian bawah bibirnya dan segera
berlari secepat yang ia bisa. Itu semua terjadi begitu cepat dan reflek. Veni
lupa, bahwa Pak Thomas benci siswa yang masih berkeliaran di sekitar sekolah
ketika jam sudah usai. Dan dia adalah orangnya!
“Dasar
anak sekarang, kerjanya pacaran. Jangan tiru itu,” Ujar Pak Thomas. Beliau
kembali melanjutkan pelajaran tanpa merasa bersalah. Karena sesungguhnya, Veni
sama sekali tak melakukan hal yang sudah dituduhkan, justru pekerjaan mulia,
yaitu, PIKET.
Beberapa
pasang mata melihat kepergian Veni. Termasuk Varis. Varis merasa pernah bertemu
gadis berisi itu sebelumnya. Tapi di mana?
“Hhhh..
tuh orang aneh banget. Sapa juga yang pacaran, orang mau piket kok malah
dituduh yang nggak-nggak, awas aja tuh orang.. Hhhh,” Veni berhenti di depan
gudang dengan napas memburu.
“Janji
aku nggak bakal lewat kelas itu, bisa-bisa kena omelan lagi.. Hhhh.”
Akhirnya
Veni mengambil jalan pintas dan melakukan piket bersama Kayla. Meski Kayla
mengomelinya karena terlalu lama, mood Veni terlanjur buruk untuk dapat
menjawab pertanyaan Kayla.
“Ven,
kamu kenapa sih? Tadi ketawa-ketiwi, sekarang mingkem terus? Kamu nggak
kesambet setan lewat kan di gudang?” kata Kayla. Ia terus melontari Veni
berbagai macam omelan dan pertanyaan, namun Veni tetap bungkam.
“Iiihh,
serem, jangan-jangan Veni kerasukan. Haduh, tahu gini mending aku aja yang
ambil sapu.” -_-
^^^
Varis Looks Like
0 komentar:
Posting Komentar