Aku termangu di sudut kelas. Mencoret lembaran kertas dengan pola tak jelas. Penat. Mataku menerawang lurus ke luar jendela. Berharap ada sesuatu yang membuat otakku serasa lebih ringan dari sebelumnya. Tubuhku serasa sangat amat berat, terlalu berat hingga aku nyaris tak mampu berkutik. Sesekali mataku menerawang ke benda berdetak yang seakan tersenyum sinis padaku.
Sepersekian detik kemudian, seseorang datang ke arahku. Langkahnya yang lebar dan hentakannya yang keras sama sekali tak membuatku meliriknya.
"Nay! Nay! Is the best day ever!!" serunya girang. Aku bergeming. "Nay, mood kamu jelek ya? Senyum napa." Ia duduk dengan mudahnya tepat di sebelahku.
Kutarik napas panjang sebelum berujar, "ada apa lagi? Baru nemu uang seratus ribu jatoh?"
Ia hanya mengerucutkan bibir pertanda sebal. "Sha, jelek banget kalau kamu merengut gitu."
"Emang dasarnya aku jelek, puas?"
"Nyantai, bro?!"
"Kamu sih, tumben hari ini nggak keluar kelas? udah capek jadi stalker?"
"Bukan masalah kan?" kataku. Kesha menekuk kening. "Lagi pengen meditasi aja."
"Meditasi? Iiiihh, mau jadi penerusnya ki Joko Bodo?"
"Mungkin, malah bisa lebih."
Kesha memutar mata. "Otak kamu udah error stadium berapa sih?" celetuknya. Tanpa terduga, ia merenggut buku catatan penuh tinta yang kubuat."Lihat aja, nggak ada apa-apanya."
"Nay, kamu kenapa sih? Aku ngerasa kehilangan kamu, Nay." Kesha menatapku sendu. Kulihat, seberkas harapan tumbuh. "Aku kangen kamu yang selalu marah kalau di jailin, kangen banget."
"Jangan natap aku kayak gitu, aku masih normal, kamu bukan tipeku."
"Iih, kebanyakan nonton Korean Drama sih. Aku serius, aku ngerasa kehilangan kamu semenjak...," Kesha tak tuntas bicara. Karena secara tak sadar aku menyergahnya.
"Sha, Please."
"Maaf."
Kami berdua terdiam begitu lama. Dijam kosong ini, biasanya, aku tak pernah merenung. Tak pernah menyendiri. Tapi, kali ini, sekali ini, hari ini, aku serasa lumpuh. Tak berdaya, entah mengapa. Seakan, esok tak lagi ada hari, tak ada lagi mentari.
"Sha, baca apa? kenapa jadi diem?" kataku mulai curiga. Tak seharusnya Kesha bersikap manis seperti itu.
Aku menyadari satu hal ganjal. Pelupuk mata Kesha tergenang air mata. Kenapa?
"Sha, jangan nangis. Kamu barusan nguap ya? ngantuk?"
"Kali ini aku nggak nguap kayak biasanya, aku nangis, Nay."
Aku kian tak mengerti. Setitik rasa bersalah terasa mulai meraba hati ini.
"Aku salah?"
"Aku tersentuh baca tulisan kamu, Nay. Hiks.."
Rasa bersalah itu pun runtuh seperti kertas berubah jadi abu.
Langkah demi langkah aku berusaha..
Kian lama hingga kakiku nyaris lemah..
Apa? Apa ini yang harus kuterima?
Hati ini menangis, tetapi tak sanggup menepis..
Kamu, sadarkah kamu? Mengertikah kamu?
Hatiku berdarah, terluka, tak sanggup lagi, menerima perih..
Salahkah aku memiliki rasa ini?
Salahkah aku menyimpan perasaan yang kian mengendap di sudut hati ini,
perasaan rindu akan hadirmu, perasaan rindu hangatnya senyummu
Aku manusia, sama seperti mereka, tetapi kamu tak pernah bisa menyadari hadirku..
Kamu menganggapku tak kasat mata, kenapa?
Waktu membungkus perasaanku, mengikatnya hingga tak bisa terpisah..
Rasaku tetap sama, bahkan hingga kamu sudah tiada..
Kesha menjulurkan tangannya menunjukkan catatan milikkku. Catatan yang entah kapan pernah kubuat, yang pasti ini semua kubuat dengan hati, dengan nurani.
"Nay," Kesha menepuk bahuku, seolah ia berusaha memberi semangat padaku.
"Kenapa? Aku nggak apa-apa, jangan bertindak seolah aku sedang bersedih!"
"Nay, bibirmi bisa berkata kosong, tapi matamu.. nggak bisa berbohong."
Aku menatap Kesha dalam. Rasa itu, sakit itu, merebak lagi. Muncul di permukaan hati ini. Kenapa? Kenapa aku harus mengingatnya kembali?
"Cukup, Sha! Aku nggak apa-apa, jangan kamu pikir aku lemah cuma karena masalah itu, justru akulah yang jauh lebih kuat dibanding kamu!" emosiku menyeruak. Mengalahkan logika dan akal sehat. Aku membentak Kesha, seraya meninggalkannya tertegun.
Aku lelah, sangat lelah. Haruskah aku terus bersembunyi dari kenyataan seperti ini?
-to be continued
0 komentar:
Posting Komentar