Haruskah aku terus bergini? Haruskah?
Perasaan ini, getaran ini, sesuatu yang amat memekakkan ini, apa harus lebih lama tinggal?
Aku tak pernah berharap untuk mencintai orang yang salah, karena aku percaya, cinta tak akan pernah salah. Karena aku mengerti, cinta tak dengan mudah datang dan pergi. Begitu pula ketika aku mencintaimu, mulai dari situlah, aku terjebak dalam sangkar yang kamu buat, dan tak bisa sekali pun aku terlepas dari belenggumu.
Veni, sesosok gadis remaja yang amat polos. Terlalu polos untuk bisa membedakan apa itu rasa suka dan rasa cinta. Venisia Eka, terlalu lugu untuk mampu mengerti apa itu sakit hati serta apa itu dikhianati. Namun, waktu telah menyeretnya menuju masa yang tak pernah ia duga. Masa di mana, cinta itu berdiri tegak dalam lapisan hatinya. Cinta yang sulit dimengerti namun nyata.
"Sial! Tahu begini, kemarin nggak begadang!" rutuk Veni disepanjang jalan menuju sekolah. Berulang kali ia melirik benda berdetak yang melingkari tangannya. "Semoga ada keajaiban!!"
Angkutan umum berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah. Dengan kalapnya Veni turun dengan sedikit kesusahan karena rok seragamnya yang terlalu panjang. Hari ini tepat dua bulan ia menuntut ilmu di sekolah yang sebelumnya amat tak penting, sekolah berstandar biasa yang baginya tak akan ada hal luar biasa di dalamnya. Dan beginilah cara Venisia menjalani keseharian.
"Telat lagi," gumamnya pasrah.
Seorang pria berkumis tebal, setebal hutan hujan kalimantan berdiri tegak di depan gerbang. Beberapa siswa dengan peluh membanjiri tubuh berusaha tegar meski gemetar.
"Jam berapa ini? Apa tidak ada jam di rumah kalian, hah?!"
Veni yang berada pada barisan paling belakang hanya mampu mendengar samar-samar. Sesekali ia mengedarkan pandang untuk memastikan ia tak sendirian, memastikan bukan hanya dia yang berasal dari bangsa kelas junior.
"Kenapa senior semua?" katanya dalam hati.
"Sekarang, baris berdasarkan tinggi kalian, yang pendek di depan! Keluarkan topi upacara!"
Jujur Veni keberatan dengan metode berbaris berdasarkan tinggi badan, karena sudah pasti ia berada di depan. Sambil terus mendengus, Veni merogoh tasnya untuk mengambil topi.
"Sial! Sial! Siaaallll!! Gara-gara kemaren malem, nggak sempet nyiapin! Haduh, gimana ini? Topi? topi?" Veni mulai panik. Terlambat sih, oke, hanya satu pelanggaran yang ia kantongi, tapi, terlammbat dan tidak mengenakan atribut sekolah secara lengkap?!
Semua siswa sudah berdiri tegak dengan mengenakan topi biru yang menutupi hampir sebagian wajah. Seorang gadis bertubuh bulat masih berjongkok dan terus berusaha mengaduk tasnya.
"Kamu?! Topi kamu mana?"
Venisia hanya mampu menelan ludah. Napasnya mulai memburu.
"Kamu?! Kamu juga, Hei! Anak berandal! Kenapa kamu sok tegas, mana Topi kau tu?"
Veni melirik takut ke arah yang dimaksud. Mengikuti arus pandang sang guru. Lelaki itu, lelaki tinggi itu, lelaki tinggi berkulit putih itu, senior Veni. Dengan air muka tegas, tanpa dosa ia berdiri. Jaraknya dengan Veni hanya di lewati satu siswa sehingga Veni bisa melihatnya dengan jelas.
"Kamu, sudah telat, atribut tidak lengkap! Ckckck, bagaimana cara orang tua kamu mendidik?! Lihat! Rambut kamu sampai kemerahan, sering keluyuran?!"
"Ini sudah dari sono, Pak," jawab lelaki itu singkat. Beberapa siswa tertawa pelan.
Veni terus mencuri pandang. Menilik seniornya itu dari ujung rambut ke ujung kaki, kembali ke rambut lagi.
"Saya kecewa! Sangat kecewa!"
"Pak," panggil senior Veni tadi.
Sontak semua menoleh ke arahnya. Begitu pula Veni. Mata bulatnya dengan cepat menuju ke bet nama. Disanalah, bertengger nama yang tak sesuai perilakunya. "Muhammad Varis Al Qadrie" nyaris saja, tawa Veni menyembul. "Dunia memang udah mau kiamat," ujar Veni lirih. Pikir Veni, namanya akan sesuai penampilannya, bila diganti menjadi Lucky, Edo, atau apalah yang pasti tanpa 'Muhammad' dan 'Al Qadrie'
"Ada apa, Varis?! Ada masalah?"
"Pak, saya boleh ijin ke toilet? Kebelet nih, Pak. Sumvah, saya nggak bohong, Sumvah!"
Sang guru menggeleng beberapa kali. Dilihatnya Varis berusaha menahan sesuatu yang kapan saja bisa keluar.
"Paaaakkkk, pelissss, Pakkk.. Ini beneran kebelet!!!" rengek Varis. Lagi-lagi tawa kian membahana. Begitu pula Veni.
"Ya itu derita kaulah!"
"BAPAK, SAYA KEBELET PAK, BENER! BAPAK TEGA BANGET!" pekikan Varis kian menjadi-jadi. Membuat sang guru mulai geram menangani siswanya yang satu ini.
"Saya tidak akan mengijinkan,"
"Aduh, Bapak. Ini beneran, Bapak bisa melanggar hak asasi manusia kalau melarang saya."
"Ya sudah, sana! Kalau lima menit belum kembali, saya panggil orang tua kamu."
"Yaoloh, makasih banyak, Bapak!!"
Venisia hanya tersenyum pelan memandang kepergian sang senior tersebut. Bahkan hingga siang, ia juga tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi pada Varis, karena guru berkumis itu menyerahkannya pada guru Bimbingan Konseling untuk dicatat namanya.
^^^
Kang In Oh, Huaaa!! ^-^
0 komentar:
Posting Komentar