Sabtu, 20 Oktober 2018

Rumah; Waktu, dan Perjalanan



Ku bilang,

"Aku rindu rumah."

Suaraku nyaris tidak terdengar karna ditelan suara-suara pengunjung di sana.

Kamu kebingungan karna tiba-tiba, selepas tawaku yang panjang, sesuatu justru menitik deras.

Buru-buru kamu menghapusnya.

Namun yang ada, aku semakin terisak karna sebuah alasan yang kupanggil, Rumah.

Segelas teh yang kau pesan mungkin tidak se beku suasana malam itu.

"Kamu capek. Ayo pulang ya."

Malam sekali, kita terpaku di sebuah bangku yang hanya muat untuk kita berdua. Menyelami pikiran masing-masing hingga tenggelam.


Kuingat ketika masing-masing dari kita duduk dibalik kaca jendela, dengan silau lampu apartemen yang memandang kita satu per satu seolah menghakimi sesuatu yang sebenarnya tidak kita lakukan.

"Aku melewati banyak hal di masa lalu."

Aku melirikmu berulang kali. Matamu mulai menangkap gerikku dan mengernyitkan kening.

Kudengar semua hal jahat tentang kota dan apa-apa saja yang bersembunyi dibalik gang-gang gelap dan lembab.
Dan, seseorang yang kau pandangi itu, adalah gadis penakut yang dimatanya mudah sekali berkaca-kaca.
Namun, dengan segala keberanian yang ia simpan terlalu dalam, ia mencari-cari namamu dan meneriakkannya di tengah bintang yang dipandanginya tiap malam.

Barangkali, seseorang dari masa lalu datang hanya untuk menanyakan kabar dan memastikan bahwa mereka tak benar-benar kita lupakan.

Seperti itu cara kerjanya.

Malam itu, sebuah vas bunga memperhatikan perbincangan beku kita mengenai waktu dan perjalanan.

Pelan, ekor mataku menghadapmu lagi. Menangkap sudut hidung dan rambutmu yang sama sekali tidak asing dimataku. Yang selalu berhasil membuatku tersenyum kecil di sudut ranjang hingga nyaris terjungkal.

Aku meminta secarik kertas dan mulai menceritakan banyak hal.

Tentang kerinduanku pada rumah dan masakan keasinan.

Tentang sahabat masa kecil dan lecet yang kubuat akibat berlarian mengejar kereta api yang mengangkut tebu.

Tentang sebuah piala kecil dan sejarah bunga kamboja yang terpajang di foto fashion show ku

Tentang mobil tua pemberian bos ayahku dan banjir di tengah kota setinggi paha.

Tentang mayoret dan kebanggan bahwa aku pernah menjadi kurus dulu.

Aku selalu suka caramu menimpali.

Mengagumi setiap kisah yang masing-masing kita pernah lalui.

Barangkali, waktu dan perjalanan adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Dan kamu,

Adalah sesuatu yang selalu amat kusyukuri kedatangannya.

Sebab, dibalik tangan yang kau julurkan, kulihat waktu dan perjalanan yang berdiri berdampingan. Datang dengan se bucket besar harapan dan pertanyaan-pertanyaan klise yang berulangkali kutanyakan, namun kamu selalu berhasil membuatku mengangguk tanpa jeda.

Aku selalu menjadi seseorang yang kekanakan.

Menjadi satu-satunya yang ingin dimengerti.

Akan tetapi, serupa racun, bisa jadi ia miliki penawarnya.

Membuat sesuatu yang kusut menjadi lurus kembali

Membuat sesuatu yang menakutkan menjadi penuh semangat

Membuat sesuatu menjadi lebih baik. Lagi dan lagi.

Aku memandangi wajah lelahmu lekat-lekat.

Kemudian kamu tersenyum.

***

Dan sekali lagi, dibalik lelapnya tidurku malam itu, seseorang bertanya.

"Lantas, kenapa dia?"

Aku tersenyum, seperti caramu tersenyum, dan menjawab.

"Karna, ketika kupandangi wajahnya, yang kuingat hanya satu.

Yaitu,

Rumah."

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting