Senin, 13 Juli 2015

Paradoks


        Aku mengenal hitam. Aku juga mengenal putih.
        Aku pernah ke atas dan pernah ke bawah.
        Aku mengetahui apa itu api dan apa itu air.
        Aku paham apa itu logika dan apa itu imaji.
        Tapi...

        Bagaimana bila aku hanya mengenal satu dari keduanya?

        "...Bocah."
        Aku menghela napas. Dalam. Perlahan, pendar cahaya telpon genggamku meredup. Seketika gelap gulita.

        Hari ini aku belajar tentang paradoks. Sama seperti logika dan imajinasi yang selalu berseberangan di mata orang. Namun menjadi kesatuan yang tak terpisahkan bagi sebagian orang lainnya. Aku belajar mengenai paradoks tentang mencari dan dicari. Tentang menanti dan dinanti. Sama seperti membenci dan mencintai disaat yang bersamaan.


        Seseorang mengatakan bahwa ia bersandar pada logika. Ada pula yang mengagungkan imajinasi hingga lupa diri. Kemudian mereka dipertemukan. Sang logika menertawakan dirinya sendiri karena tak pernah secerdas imajinasi yang memikirkan bagaimana bila kita bisa pergi ke bulan. Tapi, tawa imajinasi tak kalah kerasnya. Ia menertawakan pikiran tak masuk akalnya yang terkesan seperti orang bodoh. Seperti pergi ke bulan dengan kuda mungkin?

        Karena perbedaan, kita saling mengisi.




        Seperti itik yang terjebak diantara barisan angsa. Ia bersedih. Merutuk diri sendiri. Mengapa aku tak secantik mereka? Mengapa aku buruk rupa? Mengapa mereka punya bulu yang cerah seperti mutiara? Hingga akhirnya seseorang memindahkan itik itu pada barisan ayam. Ayam-ayam yang berlumur sisa makanan.
        "Aku punya bulu yang lebih lembut dari mereka... Kenapa aku terus bersedih selama ini?"

        Dan karena perbedaan, kita belajar.

        Jemari panjangku menelusuri tiap inci telpon genggam dengan lincah begitu sebuah pesan datang. "Aku nggak ngerti, kenapa Tuhan bikin kita beda. Apa untuk saling bunuh-bunuhan?"
        Dahiku berkerut nyaris bersamaan dengan segaris senyuman.

      
        Kalian tahu?
        Mengapa harus ada perbedaan? Mengapa justru dengan perbedaan suatu hal dapat berpadu? Lantas apa gunanya kata 'berbeda' jika pada akhirnya kita bertemu di ujung yang sama?



         Kita semua adalah perbedaan. Terlepas dari siapakah yang benar. Kita hadir untuk saling melengkapi kekurangan dengan kelebihan. Kita memilih dan dipilih. Kita mencari dan dicari. Kita hidup dan akan mati. Kita mencintai dan membenci. Dan kita semua, adalah paradoks. Menjadi berbeda agar menjadi sama.
   


-Juli 2015. Lupakan-

Sabtu, 20 Juni 2015

Konser Kesunyian



        Aku masih menghitung jumlah bintang begitu aku tersadar, aku merindukan Bulan.

        Sejenak hening menyapa. Di mana bulan?

        Aku mengedarkan pandang. Menatap tiap sorot lampu jalanan. Bergantian.

        Ah, mengapa aku selalu mencari hal yang tidak ada? Sedangkan aku punya berjuta bintang disana.


    
         Mataku terpejam. Menyaksikan konser kesunyian ini sekali lagi. Terjebak diantara memori dan ketakutan akan masa depan yang terus bersahutan. Gaduh. Riuh.

        Setitik cahaya bintang yang temaram mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Gadis kecil manja yang takut pada boneka berbentuk manusia. Barbie. Sesuatu yang kemudian membuatku muntah. Aku tertawa dalam hati. Menertawakan phobia tak masuk akalku.

        Setitik cahaya bintang lain yang lebih terang menggiringku pada memori ketika aku beranjak remaja. Masa dimana aku mulai berani bermimpi tentang pangeran berkuda. Membayangkan mereka datang dan memberikan sebucket bunga. Atau bernyanyi lagu cinta ciptaan mereka di bawah bintang dan bulan bertemankan gitar. Aku tertawa lagi. Lebih keras.

        Terlalu banyak impian yang aku tuliskan, dulu. Tapi...

        Mataku terpejam.

        Bermimpi di umurku yang tak lagi belia seolah menjadi ketakutan baru. Mungkinkah mimpi itu menjadi nyata? Tidakkah itu sulit untukku? Mampukah aku? Kamu gila?
        Imajinasi dan logikaku mulai bercampur aduk. Seolah terbangun dari tidur malam yang panjang, dan aku tetap harus menghadapi kenyataan.

        Malam ini, aku kembali terduduk bisu. Mengamini tiap celoteh alam dengan bungkam.


        Kamu tahu? Aku selalu benci ketika aku menyadari aku sudah ada di bulan Juni. Tidak. Aku bukan membenci bulan ini. Aku hanya membenci ketika aku sadar, aku tak sedang di dalam pesawat dengan titik hujan dan cahaya bandara yang menyilaukan mata. Entahlah, sulit untuk menjelaskannya.

        Lalu, masihkah aku berdiri di tengah-tengah pemain konser kesunyian, tahun depan? Atau, sedang berdebar menanti pengumuman? Atau telah berbahagia dengan senyuman bangga?

         Aku selalu mengagumi waktu yang bergerak tanpa seijinku. Dan kuharap, kali ini waktu mengijinkanku mengatakan dimana aku ingin ia membawaku. Dan kuharap, apa yang kumau adalah yang terbaik untukku dan masa depanku.


11 Juni 2015



Kamis, 30 April 2015

Repost: Cloud(s) (20 Februari 2013)


Little quotes from: Cloud(s)

        Sang roda waktu mungkin terlihat bisu, tapi mereka bahkan tak pernah sekali pun diam. Mereka bicara dan terus berkata. Ada celah di mana kamu harus mengingat, sesuatu yang bisu tak selalu bebas dari suara. Seperti bahasa-bahasa yang tercipta antar manusia atau manusia dengan lingkungan. Seperti juga lampu merah di jalanan. Mereka bicara. Mereka menyampaikan sesuatu. Walau terlihat bisu.

Reason


        Bibirku mengulum senyuman sinis. Memandang inci demi inci angka yang tertera di sana diam.

        Hujan. Ia berkawan dengan petir kali ini. Membuat alunan nada yang bergema di ujung telingaku tersamarkan. Jemariku melempar jauh kalendar ke atas ranjang. Tersadar bahwa aku sudah merangkak jauh dan melupakan sesuatu yang tertinggal di belakang. Memilih untuk kembali? Merangkak?

        Tidak. Aku masih lebih dari waras untuk kembali dan merangkak lagi.

        Sejenak hujan mendekam ketika earphoneku tak lagi bersuara. Seolah sepasang kaktus di atas meja menertawakanku yang tak kunjung maju barang selangkah.

        Aku mendengus kesal. Alunan gitar yang kembali menggema seolah menahan air mataku untuk tumpah. Aku tidak benar-benar tau judul lagu apa yang aku dengarkan. Yang kutahu hanya nada-nada sendu itu mampu membuatku benar-benar menjadi diri sendiri.

        Reason.

        Kugigit bibir bawahku. Walau tak sebait lirik pun terdengar, entah mengapa otakku seolah melafalkan sesuatu.


        Reason.
        Aku memandang judul yang tertera. Diam.

        Semua berawal dari sebuah alasan. Alasan mengapa kita harus bernapas. Mengapa kita harus tidur. Mengapa kita harus melaju. Mengapa kita harus beristirahat.

        Bahkan alasan mengapa Tuhan memberikan cobaan.

        Mungkin juga alasan mengapa aku membeli dua kaktus kurus yang kini menjadi penjaga kamarku.

        Entahlah. Alasan adalah sesuatu yang dapat membuatmu memulai mau pun mengakhiri. Alasan adalah sesuatu yang mampu membuatmu berdiri tegak meski orang lain menolak. Alasan adalah sesuatu yang membuatmu melangkah lebih jauh walau kamu tahu ada beberapa biji paku.
       
        Bahkan untuk suatu hal yang kau anggap tak berasalan justru memiliki sejuta macam alasan. Benar bukan?
       

Repost: Alas Kaki (Minggu, 23 Februari 2014)


       Aku memutar sebuah lagu lama yang kukenal dari teman sekelasku. Alunan gitar menyapa senyap udara. Begitu dalam dan tenang. Sebuah lagu dari maestro Indonesia. 'Iwan Fals'
       Aku merinding menyimak suara berat sekaligus hangat. Seperti disetrum listrik, tubuhku seketika tak berkutik.

       Andai kau ijinkan..
       Walau sekejap memandang 
       Kubuktikan kepadamu 
       Aku meiliki rasa

       Aku memejamkan mata. Meresapi tiap makna yang melayang di otakku dengan seksama. 

       Cinta yang kupendam 
       Tak sempat aku nyatakan
       Karena kau telah memilih 
       Menutup pintu hatimu
        
       Senyap.

       Aku menghentikan alunan lagu tanpa kusadari. Sadar diri bahwa aku tak cukup kuat untuk menelan pahit sedini ini.
       Hari ini adalah malam tahun baru. Malam di mana tahun akan bertambah satu angka. Tapi, apa yang akan berubah dariku?
      
       Aku ingat ketika umurku masih belia. Dengan harapan buta, aku mengharapkan mimpi kosong terjadi. Dan kini aku tahu diri, mimpi itu akan selamanya kosong jika aku tak pernah berusaha mengisinya, mencoba merealisasikannya.
       Waktu sudah beranjak jauh. Tapi aku baru melangkah sejengkal saja.
       Saat ini aku berjalan tanpa alas kaki, berjalan dengan luka yang tercipta dari kerikil kecil dan serpihan kaca. Itulah yang membuatku tak pernah bisa melangkah lebih jauh. Namun tidak dengan hari berikutnya. Aku akan berjalan dengan alas kaki bernama 'Mimpi'. Berjalan lebih cepat dan tepat.
       Maka aku kembali bertanya, apa yang akan berubah dariku di tahun 2014 ini? Jawabannya ialah, perasaanku. Perasaan yang rapuh.
-2013
Midnight-

Senin, 02 Februari 2015

Hukum Alam

       


        Entah hal apa yang mendasariku membuka blog lamaku ini. Mungkin seekor nyamuk yang dengan sengaja kubunuh dapat menjawabnya, setidaknya sebelum aku menyesal telah membunuhnya.

        "Setiap individu punya hak sejak ia dilahirkan."

        Kuperhatikan seekor nyamuk tak bernyawa di ujung jariku. Sekejap otakku bereaksi. Memberikan empati berlebih pada seekor nyamuk disana. Menyesal karena berpikir telah merenggut haknya untuk hidup.

        Nyamuk, salahkah ia untuk tetap berusaha mempertahankan hidupnya? Lantas, kenapa kita harus membunuh mereka? Membiarkan hewan yang sama-sama bernyawanya seperti kucing leluasa hidup, namun meniadakan hama seperti serangga?

        Jadi, hak bukanlah hal yang bisa mereka dapatkan seperti hewan lainnya. Adilkah itu? Bagaimana dengan manusia? Adakah manusia yang bergelar hama?

        Mungkin. Sama seperti kalian. Seseorang yang selalu dianggap perebut kisah seseorang. Aku panggil kalian pengagum rahasia. Semacam seseorang yang setara dengan CIA atau FBI yang gemar mematai-matai? Anggap saja begitu jika itu membuatmu merasa terhormat. Karena bagiku, pekerjaan semacam itu merupakan pekerjaan yang amat sangat terhormat.

        Hanya pengagum rahasialah yang mampu menahan beban teramat berat. Ya, luka. Luka yang dapat membunuhmu tanpa pernah kamu sadari itu.
       
        Aku kembali pada seekor nyamuk di ujung jemari. Membandingkannya dengan mencintai dalam diam.

        Salahkah jika seekor nyamuk menuntut haknya untuk hidup? Lalu, tujuan mereka ada hanya untuk dibunuh pada akhirnya?

        Sama seperti pengagum rahasia. Ketika seseorang yang kalian kagumi telah mengurung hatinya untuk seorang saja, salahkah kalian menganggu mereka? Itu hakmu. Mendapatkan kebahagiaan adalah tujuan kalian, tak lebih. Atau, sama seperti nyamuk yang pada akhirnya mengalah pada hukum alam? Hukum yang membuat kalian hanya mampu mendoakan?

        Tidak. Seorang pengagum rahasia tidak kenal makna dari hukum alam yang selalu menyudutkan. Hukum alam, hanya berlaku bagi siapa pun yang sengaja menerimanya. Seperti ikan yang selalu dimangsa Elang, tak semua ikan selemah itu. Kita mengenal Piranha, dan semua hewan takluk pada mereka.

        Sama seperti pengagum rahasia yang terus berusaha. Jadilah 1 diantara 1000.

-Abaikan-
 

Template by Best Web Hosting