Jika aku penulis
dalam setiap alur kisah hidupku, haruskah aku memilihmu untuk menjadi tokoh
utamanya? Jika iya, akankah aku memilih akhir bahagia dalam akhir ceritanya?
Atau.. aku harus menyimpulkan akhir yang tragis namun selamanya dikenang...
entahlah, ini sulit, perasaan ini sulit, rumit.
^^^
[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Kamu Aktor, lalu, Aku?
Venisia terduduk membisu di sudut kelas. Terbalut dalam gelap sisi dirinya. Ia nyaris sengsara. Kenyataan bahwa sesuatu telah berangsur berubah darinya, membuat Venisia dilema. Ia masih belum terlalu kuat untuk menyimpulkan hal itu. Ia masih belum memiliki keberanian yang cukup untuk melihat hal yang berubah. Venisia hanya takut. Ya, takut.
Waktu kian melaju. Begitu pula perasaannya yang tak pernah berhenti di satu titik. Venisia mulai bisa meraba mengenai hal yang ia rasa, mengenai deburan dalam hatinya yang tak pernah hampa. Ini kali pertamanya ia merasakan, Cinta. Dan.. ini kali pertamanya menangisi sesuatu yang tak seharusnya tak ia tangisi.
Beberapa gambaran kejadian yang sempat terjadi kembali berputar dalam benaknya. Melayang, menari, menggerogoti akal sehatnya. Semua pesan manis dari Varis. Hal itu membuat Venisia seakan terbang ke langit berbintang yang tak bertepi. Dan saat ini, ia belum tahu bagaimana caranya turun kembali.
Venisia ingat, ketika kali pertama, suara serak itu terdengar indah di gendang telinganya. Untuk kali pertama, Venisia bisa mendangar suara tawa pujaannya. Pangerannya.
Jika Varis pangeran dalam sebuah dongeng yang aku buat, lantas siapakah diriku? Nenek sihir yang merenggut kebahagiaannya? Atau mungkin putri tidur yang baru bangun ketika sang pangeran berkata cinta padanya?
Venisia menghela napas dalam dan berat. Ia mampu merasakan betapa berdebarnya hatinya kala itu. Ketika pangeran berkulit putih bak vampir itu menghubunginya. Venisia bisa membayangkan, untaian senyum yang terpeta ketika ia saling bicara.
^^^
Seseorang melangkah menuju kelas, tatkala tanpa Venisia sadari, air matanya mulai berderai. Lampu pun menyala. Sontak seisi kelas kembali jelas terlihat. Seseorang yang menyalakan lampu berkata, "Wah, ternyata ada penghuninya?"
Venisia buru-buru menghapus rinai air matanya yang ternyata mulai mengering. "Ven, kamu kelilipan? Mata kamu merah?" tanya orang tersebut.
"Ah, masa sih, Kay? Aku ngantuk mungkin, kamu kan tahu kalau aku insom."
"Kamu habis nangis kan?"
"Ngaco! Veni nggak pernah nangis."
"Mata kamu baru aja bicara ke aku."
Veni terdiam beberapa saat.
"Soal Varis lagi?"
Tak ada kata yang mampu keluar dari bibir Veni. Semua serasa tersendat dalam kerongkongannya dan berebut ingin keluar. Namun, yang ada napasnya kian memburu. Dan dengan reflek, gadis itu menghambur ke pelukan Kayla, sahabatnya.
^^^
Dua bulan ini, Veni selalu menumpahkan keluh kesahnya pada Kayla. Semuanya. Mengenai perasaanya dan isi pesan Varis pada Venisia. Kayla dengan besar hati menampung semuanya. Entah mengapa, Kayla sering larut dalam kisah antara Varis dan Veni yang baginya sangat mengharukan. Ia memehami Venisia lebih dari Venisia memahami dirinya sendiri.
Ini kali pertama Venisia jatuh cinta dengan derai air mata. Varis sosok yang berbeda dan berhasil merebut hati Venisia yang tak terduga. Namun, kenyataan tak sejalan dengan harapan. Venisa mungkin pernah berharap lebih terhadap Varis, mengingat semua hal yang pernah ia lakukan dan korbankan demi Venisia.
Satu cerita, ketika Varis dan Veni tengah asik berkirim pesan, mendadak Varis hilang. Venisia diam saja, ia pikir Varis sedang sibuk atau tertidur, karena mereka biasa berkirim pesan ketika jarum jam melebihi angka 9 malam.
Handphone Veni tiba-tiba menerima sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
From: 0821XXXXXXX
Maaf baru bales, ndul. Ini nomernya Ibukku, sementara smsan pakai ini dulu, ya :)
Satu hal yang terlintas di pikiran Veni. Apa perlu kamu balas sms dari orang sepertiku? Orang yang bahkan tak pernah bertatap wajah denganmu, bertegur sapa padamu. Dan, Bahkan, ketika kamu melakukan usaha yang tak terduga, aku selalu sangsi akan perasaan ini...
^^^
By:
0 komentar:
Posting Komentar