Venisia melangkah
lebar menuju kelasnya. Pagi ini, kelas nyaris seperti kuburan. Tak ada tanda
kehidupan di dalamnya. Veni, dengan langkah santai duduk dan melemparkan
tasnya. Sesegera mungkin ia keluar untuk menanti Kayla. Namun, nampaknya, ia
tak benar-benar bertujuan menyambut Kayla di depan gerbang sekolah, melainkan
menanti pangerannya yang hari ini memiliki jadwal bimbingan belajar pukul enam.
Karena, sejatinya, Veni nyaris tak pernah menginjakkan kaki di sekolah, sebelum
pukul tujuh.
Veni berjalan seorang
diri dengan mata terus menilik sosok tampan bertubuh jangkung itu muncul.
Beberapa kali ia melirik jamnya. Waktu seakan terhenti di mata Veni. Dimana
Varis?
Kisah Venisia: Perfect?
Venisia
mulai letih dan memilih untuk kembali ke kelas. Ia tak menemukan Varis, atau
bahkan Kayla. Yang ia temui hanya Pak Thomas dengan kumis emasnya, yang selalu
menyilaukan mata.
“Udah
bangun pagi-pagi, nggak tahunya Varis nggak ada.” Veni melangkah lunglai menuju
kelas, wajahnya suram, muram, dan kelam. Aura mengerikan terpancar darinya.
Veni
melirik jamnya sekilas. “Jam setengah tujuh? Harusnya Varis udah dateng, apa dia
nggak masuk? Atau malah dia datang pagi tadi, sebelum aku sampai?!”
Baru
saja Veni akan membalikkan arah jalannya, Varis dan seorang temannya muncul
dengan kalapnya. Mereka berdua berlarian tak keruan, senggol sana, tabrak sini.
Hingga Varis pun tak sengaja menyenggol bahu Veni yang masih tertegun.
“Eh?
Sory, Dek!” celetuk Varis seraya terus melaju. Lelaki itu menolehkan kepalanya
ke arah Veni dan berteriak begitu saja. Namun, Veni terlalu tak menyangka untuk
bisa angkat bicara dan berkata “Nggak apa-apa.”
“Yang
barusan lewat tadi... Malaikat?”
^^^
“Ven,
temenin aku ke kamar mandi ya?”
Kayla
menyenggol siku Veni diam-diam. Ia berbisik takut ke arah Venisia yang sedari
tadi tersenyum tanpa sebab yang pasti.
“Eh?
Sekarang?”
“Hu’um.
Aku kebelet, ini udah diujung tanduk.”
“Harus?”
“Sialan!
Ayo buruan!”
“Hehe,”
Veni
dan Kayla bersama menuju kamar mandi meski dipertengahan pelajaran Bahasa
Inggris. Sementara Kayla berada di dalam kamar mandi, Veni asik merapikan diri
di depan cermin persegi yang tergantung di atas wastafel.
“Kay!
Masih lama?” teriak Veni ketika kesabarannya berangsur hilang.
“Iya,
sabar kenapa!” balas Kayla.
Veni terdiam
sesaat. Bingung dengan apa yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan penat.
Beberapa menit terlewat. Veni pun bersandar di tembok untuk sekadar meluruskan
punggung. Namun, ketika matanya mengalih ke beberapa torehan kalimat, tubuhnya
menegap dan sesegera mungkin membacanya.
“VARIS
<3 DEA?!” Veni membaca tulisan itu dengan lisan yang keras.
“Apa-apaan
ini?”
“Varis
9.7 Kece!” Veni menghela napas dalam. “Siapa cewek kurang kerjaan yang tulis
ini?” katanya datar.
“Eh?
Veni ngapain?”
Kayla
menatap sahabatnya dengan pandangan penuh selidik begitu keluar dari kamar
mandi. “Udah, Kay? Nggak kurang lama?” tanya Veni mengalihkan topik.
“Mau
yang lebih lama, hah? Kamu ngapain ngeliat tembok sampek segitunya?”
“Lagi
lihat peninggalan sejarah.”
“Hah?”
Kayla mengerutkan kening. Sama sekali tak mengerti maksud sahabatnya. Tak lama
ia pun mendekat dan sama terbelalaknya ketika melihat tembok didominasi kalimat
berisi nama VARIS.
“Ternyata
Kak Varis seterkenal itu ya?” terang Kayla dengan polosnya.
“Elu
kemana aja, Kay? Dari dulu kali. Walau pun bukan OSIS, dia udah jadi bintang!”
“Oh,
tapi aku tetep nggak suka sama sifatnya. Varis itu Cuma menang tampang, tapi
otaknya kosong. Yah, jangan lupa juga sifat playboynya!” antusiasme Kayla
selalu meningkat ketika membicarakan keburukan Varis. “Ayo, buruan! Bu Bahasa
Inggris bisa jadi liar kalau kita nggak balik-balik!”
Kayla
pun berlalu meninggalkan Veni yang masih mematung. Sebelum Veni menyusul Kayla,
ia menyempatkan diri melirik ke beberapa deret kalimat yang melekat bersama
beberapa kata kurang sopan di tembok. “VARIS, I LOVE U.” Veni pun berlalu
setelah mengambil napas panjang dan dalam.
Apa
Varis seistimewa itu?
^^^
“Mirna
agresif banget sih kalau lagi ngegosip? Apalagi waktu ngegosip tentang Kak
Varis. Mimpi Mirna nggak ketinggian apa bisa pacaran sama Kak Varis?” celetuk
Anita.
Kayla
dan Veni yang berada di sampingnya hanya mengangguk pasrah.
“Oke,
Mirna emang putih dan lumayan tinggi, tapi itu aja kayaknya nggak cukup,” imbuh
Anita seraya melipat tangan.
Veni
yang tengah berusaha melumat bakso ukuran medium seakan tak mampu bernapas.
Sedang, Kayla yang tengah menuang sebotol kecap, nyaris menuangkan seluruh
isinya dan membuat kuah baksonya menjadi hitam legam.
“Aku
bener nggak? Kak Varis nggak mungkin kan suka sama adik kelas macam Mirna?”
Veni
dan Kayla bersamaan menelan ludah, bingung harus menjawab apa. Namun, pada
akhirnya mereka sama-sama menggelengkan kepala.
“Oke,
hari ini, tugas kelompok kita biar aku aja yang kerjain. Kalian berdua makan
sampek puas, ya. Aku mau cari tahu soal Kak Varis. Daaa!” Anita bangkit dari
duduknya dengan pancaran wajah sedikit resah. “Kay, itu kuah bakso atau kuah
empek-empek? Item banget?” sela Anita sebelum akhirnya hilang di telan
kerumunan orang.
Kayla
dan Veni saling berpandangan. Beberapa detik kemudian tawa mereka meledak.
^^^
“Kay,
menurut kamu, Varis punya aura apa sih? Kenapa dia sampek di puja sama semua
cewek di sekolah?”
“Mungkin
karena alisnya yang tebel dan rambutnya yang kemerahan karena di semir. Jadinya
kelihatan nongol banget waktu upacara.”
“Nggak
logis, Kay.”
“Pertanyaan
kamu juga nggak logis. Kalau kamu cewek tulen pasti tahu jawabannya apa?”
“Iya
juga sih. Jawabannya Cuma satu, karena dia ganteng.”
“Nah,
itu tahu.”
“Cowok
ganteng pasti sama cewek cantik.”
“Nggak
selalu. Cantik itu variatif. Cowok kayak Kak Varis itu susah ditebaknya.
Mungkin seleranya sama yang item manis. Atau malah yang tembem dan imut. Siapa
tahu?”
“Tapi
normalnya, dia pasti suka cewek cantik yang tinggi dan putih.”
“Iya,
tapi cinta itu nggak normal, Veni. Nggak tahu siapa dan gimana orang yang kamu
suka, yang pasti perasaan itu nyata dan nggak bisa dengan mudah dirubah.”
“Iya
sih, Kay. Tapi..,”
“Kenapa
sih kamu? Veni jadi aneh, deh. Ada masalah, Ven?”
“Enghh,
nggak Kay. Masa sih aku aneh, perasaan biasa aja. Oiya, nanti sebelum pulang,
kita mampir ke sewa DVD dulu ya?” Veni berusaha mengelak. Lantas, ia memutar
topik.
“Kenapa?
Mau ketemu Mas-mas penjaganya? Ngaku!”
“Nggak
lah! Enak aja!”
“Terus,
ngapain?”
“Aku
mau pinjem DVD film Twilight. Lama udah nggak nonton itu.”
“Oh,
setahuku kamu nggak suka film itu?”
“Mungkin
dulu iya, tapi.. nggak tahu kenapa, sekarang aku suka.”
Kayla
mengangguk setuju. Namun, Veni masih sedikit ragu. Dalam siratan wajahnya,
tergambar jelas, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Tapi apa?
Awalnya
aku membenci film berbau vampir, karena bagiku, mereka menyeramkan, dingin, dan
berbahaya. Namun, kurasa, perlahan aku menyukainya, karena nampaknya, alasan
aku menyukai itu, karena aku menyukaimu..
^^^
~to be continued~
0 komentar:
Posting Komentar