Kamis, 05 Desember 2013

Pelukan Hujan

        Read it Before
        Kau tahu, mungkin imajinasiku sudah kelewatan batas. Ya, ketika aku terpaku pada sang mendung, sosokmu bahkan seolah muncul. Seperti fatamorgana yang dengan mudah membuatku terpana. Saat itu, aku masih mengamati mendung, namun kedua pasang sepatu itu berhenti di depanku. Bukan. Ya, tentu saja itu bukan kamu. Bukan sepatumu.
        Pemilik sepatu itu adalah teman sekelasku. Ia bertanya, "Ngapain kamu di sini?"
        Aku mengangkat kepala perlahan, kemudian sejenak menatapnya. "Aku... menunggu hujan."
        Hujan...
         Itu kejadian 3 hari yang lalu. Ketika dengan perasaan berapi-api aku berharap hujan tak akan datang. Akan tetapi, hari ini, di hari pertama butiran hujan turun, aku mampu menyimpulkan. Bahwa inilah saat yang tepat. Saat yang cepat atau lambat jelas akan datang. Saat di mana aku harus mengangkat bendera pertanda menyerah.
         Mendung sudah menyergap langit lama. Dan ketika aku tengah berkutat dengan pasal-pasal, kudengar alunan hujan. Detik itu juga, senyumku tergurat. Samar.
         Dalam diam aku bergumam, ketika hujan bertandang, itu adalah pertanda di mana lembaran baruku terbuka. Dengan kata lain, doamu lah yang menjadi juara. Kamu kini bisa bersedih tanpa ada yang merasa bahagia di atas kesedihanmu.
         Ketika hujan menatapku, dengan mata sendu ku lihat kegelapan yang sepenuhnya menguasai angkasa. Hujan. Ya. bumi kini terjebak dalam pelukan hujan. Terjebak dalam kesedihanmu.
         Dan kini, satu hal yang aku tahu, bahwa kita memang tak bisa memaksa sesuatu yang tak selayaknya jadi milikmu.
- Mid November 2013-

0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting