Bila kita sepertinya |
Siang itu, sinar mentari yang terik menerpa tubuhku yang tengah bermandikan peluh. Aku melangkah lunglai menuju angkutan umum dan masuk ke dalam. Tatkala mataku berpencar mencari tempat duduk yang kosong, manik mata ini terpaku pada sosok wanita tua tak bertangan sebelah. Lebih tepatnya nenek tua yang amat lemah dan tak berdaya. Mataku membelalak. Aku pernah bertemu nenek ini, tapi dimana?
Aku mengambil duduk paling belakang, pojok dekat jendela. Nenek tersebut tengah terlelap dalam tidur. Gurat wajahnya terlihat kelelahan. Sesekali tubuh ringkih nan bungkuknya itu nyaris terjatuh tiap kali kendaraan melalui jalan bergelombang atau pun bila mengerem mendadak. Aku memperhatikan nenek itu dari ujung kaki hingga ujung kepala dan kembali lagi ke kaki. Nenek tersebut merengkuh benda dalam selendang birunya dengan amat erat meski dalam tidurnya. Hingga tanpa sengaja beliau terbangun dan mendesah dengan intonasi yang kurang jelas bagiku, karena ada seorang lelaki muda bersama ibunya yang duduk di sebelah sang nenek. Betapa tercengangnya aku melihat wajah nenek itu ketika menghadap ke arahku, matanya, kedua matanya hampir tak memiliki lensa. Maksudku, seperti manula lainnya, yang seringkali didera penyakit mata, katarak atau apalah itu, hingga sekilas nenek itu terlihat buta. Tapi, beliau tak buta.
Tak lama, nenek itu kembali terlelap. Kupandangi tubuhnya yang bungkuk, kulitnya keriput, kulihat jelas kerasnya kehidupan dalam setiap inci tubuhnya.
Oh, aku ingat... Nenek ini, adalah nenek yang beberapa bulan lalu aku temui. Ketika aku hendak berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. Kala itu, nenek tersebut menjatuhkan uang recehannya untuk membayar angkutan umum. Aku yang kebetulan duduk di sampingnya menolong mengambilkan uang-uang tersebut. Ya, aku ingat. Ya tuhan,... aku juga ingat, nenek inilah yang kapan hari ditolak oleh beberapa sopir angkutan umum, karena dianggap tak mampu membayar.
Aku menelan ludah. Namun rasanya kerongkongan ini terlalu kering untuk itu. Sekali lagi aku memandang tubuh kurus itu. Hingga kami berhenti di depan sebuah pasar, Pasar Larangan.
Sang sopir berujar keras. Sedikit mengagetkanku namun sangat amat mengagetkan nenek tua itu. "Mbah! Iki lho wes teko pasar. Ndang tangi!" begitu katanya. Artinya, nek, cepetan turun, ini sudah sampai pasar, cepat bangun.
Aku menatap sang sopir tak suka. Hei! lihat yang kau gertak adalah orang tua! Dimana sopan santunmu hah?!
"Oh nggih nak, nggih pasar," jawab sang nenek masih dengan terkaget-kaget. Karena masih terbawa suasan kaget, beliu buru-buru bangkit dengan mata setengah mengantuk. Beruntung ada seorang lelaki muda yang membantunya mengeluarkan barang bawaan sang nenek. Tetapi, ketika sang nenek hendak keluar, dan menapaki sebuah tangga menuju ke bawah, beliau terjatuh. Lantas aku berteriak kaget. "Ya Allah!"
Sang nenek segera bangkit dan keluar dengan cara duduk dan menyeret tubuhnya. Sungguh, dunia ini memang kejam. Apalagi, lelaki yang semula ingin membantu sang nenek dipanggil oleh ibunya, "Heh, nak, udah biarin aja wes. Biarin neneknya bawa sendiri barangnya. Ayo cepet masuk! Lapo kamu ngurusi wong iku?!"
Hatiku pecah berkeping-keping. Kini satu lagi orang yang merasa terganggu dengan kehadiran sang nenek, padahal anaknya hanya bermaksud membantu saja, hanya itu!
"Iya Bu, sek, iki sakno mbahe," ujar sang lelaki muda,
Ya, setidaknya aku bersyukur masih ada yang berhati besar.
Sang nenek membuka selandang birunya untuk mengambil uang receh. Aku memang sempat mendengar suara recehan tatkala nenek itu bergerak, dan ternyata uang lah yang beliau bawa sedari tadi. Uang pecahan ratusan yang selama ini selalu kubuang dan kuhamburkan begitu saja.
Sejujurnya aku ingin mambantu sang nenek, walau sekadar memberi uang. Namun waktu memang tak memungkinkan. Ya, aku hanya bisa memberi beliau doa,
Angkutan umum pun kembali melaju. Meski begitu hati ini tergugah untuk tetap mengamati sang nenek. Kulihat beliau berjalan terseok menuju ke dalam pasar. Tanpa sengaja, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa yang membuatku ingin menangis. Mungkin hati ini merasa teriris tiap kali melihat bagaimana egoisnya manusia. Mereka memandang lemah dan sebelah mata para manusia seperti nenek tadi. Oh tuhan, apa takdir memang sekejam ini? Mengapa harus ada manusia yang lemah dan yang kuat, mengapa harus ada si kaya dan si miskin? Aku tahu, ini memang suatu suratan, tapi, tak adil bila harus seperti ini. Nenek tua seperti nenek yang kutemui sudah tak layak bekerja tiap hari di pasar. Kalau saja ku bisa pasti sudah kuberi beliau tempat tinggal dan uang.
Sungguh aku sangat terenyuh, akan kegigihannya beliau, karena belum tentu pabila aku ada di posisi beliau, aku mampu melalui semuanya dengan tawa.
Tapi, hari ini, satu lagi pelajaran yang bisa kuambil, yaitu, aku akan selalu berusaha untuk menghargai orang yang lebih tua, karena kelak kita juga akan tua. Dan aku juga belajar bersyukur, bersyukur karena memiliki keluarga dan tak sebatang kara. juga bersyukur karena aku masih memiliki kedua tanganku. Ya mulai detik ini, aku akan berusaha jadi orang yang lebih bersyukur!
0 komentar:
Posting Komentar