Parallel lines
"Nekad ya?"
have a lot in
common,
but they never meet.
Ever.
You might think that’s sad.
But, every other
pair of lines
meets once
and then drifts apart forever
Which is pretty sad too….
Air pada gelas yang kuteguk ternyata
sudah kosong sejak tadi, begitu aku usai membaca sebaris kalimat, yang tanpa
kusadari telah menjadi berkalimat-kalimat.
Aku membuka sebuah kaleng bergambar keju. Kuharap ia menepati
janji dengan tidak berisikan kerupuk dan sebangsanya.
"Kamu beda, Sa."
Blar!
Ia benar-benar menepati janji.
Karna, aku menemukan sepasang wafer keju tersisa di sana setelah sekuat tenaga tanganku berusaha membukanya.
"Bisa jadi, itu ujian. Mungkin kamu lebih banyak ketemu sama
seseorang yang ndak kamu kenal. Yang lagi duduk membelakangi kamu, mungkin?
Tapi kamu terlalu fokus dengan satu kali pertemuan tanpa sengaja itu karna kamu
mengenalnya."
Aku terduduk, tidak dapat bicara.
"Kamu beda, Mas," gumamku, nyaris tak bersuara.
Banyak diantara kita yang enggan menutup pintu dan membuang
kuncinya. Memilih untuk sekadar berdamai kemudian membuka tangan kembali untuk
sesuatu yang sudah jelas ujungnya.
Malam itu, aku masih ingat wajahmu disapu udara dan cahaya lampu
depan rumah yang cahayanya redup. Aku berdiri seraya memeluk tas kecoklatanku
yang berdebu.
"Aku serius," katamu.
Tanpa kau ketahui, sesuatu menggenang di mataku. Serasi dengan bibirku yang sesekali menahan tawa.
Aku selalu ingat caramu ketika panik. Kamu akan lupa semuanya. Benar-benar lupa. Bahkan untuk sesuatu yang teramat penting. Katamu, "Ada satu kok yang aku nggak pernah lupa."
Aku tertawa setengah ditahan. Berusaha jaga imej.
Tanpa kau ketahui, sesuatu menggenang di mataku. Serasi dengan bibirku yang sesekali menahan tawa.
Aku selalu ingat caramu ketika panik. Kamu akan lupa semuanya. Benar-benar lupa. Bahkan untuk sesuatu yang teramat penting. Katamu, "Ada satu kok yang aku nggak pernah lupa."
Aku tertawa setengah ditahan. Berusaha jaga imej.
Juga, ketika aku berkata padamu, bahwasannya aku sedang
kebingungan. Katamu,"Aku ke sana sekarang."
Aku tahu, jarak antara Sidoarjo dan tempat tinggalku saat ini
tidaklah dekat. Jauh. Dan kamu menjadikannya bagai sekejap mata.
"Aku belum pernah kesitu," kataku.
Kemudian disela-sela waktu yang sebenarnya sedang mencekikmu, kamu datang.
Kemudian disela-sela waktu yang sebenarnya sedang mencekikmu, kamu datang.
Malam itu, aku terduduk dengan mukena lecet di mana-mana. Salah seorang temanku disamping tertidur hingga tersungkur. "Kamu tidur aja dulu," kataku.
"Kamu ndak?" tanyanya.
"Ndak, nanggung. Nanti aku di sini sampe shubuh ya."
"Kamu doa apa sih? Kok masih melek banget. Aku uda gakuat."
Aku tersenyum samar.
"Sesuatu," kataku.
Kemudian, aku ingat tentang sesuatu yang pernah ku baca disuatu
tempat.
Bahwasannya, sepasang garis yang searah tidak akan pernah saling
dipertemukan.
Begitupula dengan sepasang garis yang berbeda, mereka akan bertemu
satu kali, kemudian saling pergi menjauh untuk kemudian tidak bertemu lagi.
Tapi, tahu kah kamu? Kita ada di
dataran bumi yang tidak rata. Kamu tau apa artinya? Akan ada kemungkinan kamu
bertemu dengan titik-titik lain suatu saat. Nanti. Mengitarinya lagi dan lagi.
Semalam, selepas perbincangan panjang dengan sahabatku, sebuah
pertanyaan datang.
"Kamu nyari yang gimana sih, Nis? Ini itu nggak mau."
"Yang kayak ayahku."
"Sudah nemu?"
Aku tersenyum teduh.
"Sudah," jawabku.