dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
Seseorang duduk di bawah pintu masjid itu dengan pandangan menelisik jauh. Sesekali kepalanya celingukan. Namun ia tidak benar-benar mengerti apa yang ia cari.
"Rame banget ya. Perasaan tahun lalu nggak serame ini."
"Itu dua tahun lalu, Kak."
Dua tahun lalu?
Gadis dengan mukena merah keunguan itu mereka-reka apa yang baru saja adiknya ucapkan. Dahinya mengerut tak percaya.
"Serius dua tahun yang lalu?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut adiknya, ia nampak sibuk menata barang. Ditelusurinya sendiri ingatannya dengan kepayahan luar biasa. Tiba-tiba ia merasa haus.
Malam itu teduh. Lampu-lampu nampak dua kali lebih megah karna embun malam yang samar datang. Mungkin karena udara dipenuhi doa yang tiada ada putusnya. Ditapakinya paving-paving tua itu dengan amat hati-hati.
"Minumnya di sana, Mbak."
Seorang wanita paruh baya tersenyum seraya menunjuk sebuah galon aqua di sudut ruangan.
Hari itu ia baru saja selesai mengikuti sebuah acara. Lututnya linu, jemarinya pegal membawa kamera kesana-kemari. Namun ia selalu tidak ingin semuanya berlalu begitu cepat.
"Kamu serius mau kesana sendiri?"
Jalanan utama kota Surabaya nampak lengang. Bahkan, hanya ia sendiri yang melalui jalanan lebar itu. Udara yang terlampau dingin menusuk tulangnya yang gemetar menahan beku. Namun, hanya satu hal yang tertanam di hatinya mampu membuat ia berani memecah jalanan pukul 2 dini hari dengan penuh percaya diri.
"Aku nggak mau ngelewatin satu malam pun," katanya, pada diri sendiri.
Apa yang selalu kau kagumi tentang Juni?
Apa yang selalu kau nantikan tentang Juni?
Apa yang selalu kau takutkan tentang Juni?
Juni kali ini, ia jauh menjadi lebih tabah. Tentang terus berdoa untuk apa-apa saja yang terbaik baginya. Tanpa tahu waktu.
Juni kali ini, ia berusaha menjadi lebih bijak. Tentang memulai sesuatu yang baru tanpa takut untuk terjatuh.
Juni kali ini, ia mencoba untuk menjadi arif, Tentang membiarkan Tuhan yang maha mungkin atas segala yang tidak mungkin menjadi kendali paling besar dalam hidupnya.
Semuanya terlalu samar untuk mampu ia ingat. Dalam sujudnya yang semakin dalam, sesuatu menitik lembut. Diselanya, ia gumamkan doa dengan segala tenaga yang tersisa.
Di sepertiga malam di bulan Juni itu, ia sekali lagi belajar untuk menjadi seseorang yang lebih tabah, bijak, dan arif dari Juni-juni yang lalu.
Karna Juni, akan selalu menjadi alasannya untuk kembali.
Ramadan, sepertiga malam di bulan Juni
-Annisa