Aku masih menghitung jumlah bintang begitu aku tersadar, aku merindukan Bulan.
Sejenak hening menyapa. Di mana bulan?
Aku mengedarkan pandang. Menatap tiap sorot lampu jalanan. Bergantian.
Ah, mengapa aku selalu mencari hal yang tidak ada? Sedangkan aku punya berjuta bintang disana.
Setitik cahaya bintang yang temaram mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Gadis kecil manja yang takut pada boneka berbentuk manusia. Barbie. Sesuatu yang kemudian membuatku muntah. Aku tertawa dalam hati. Menertawakan phobia tak masuk akalku.
Setitik cahaya bintang lain yang lebih terang menggiringku pada memori ketika aku beranjak remaja. Masa dimana aku mulai berani bermimpi tentang pangeran berkuda. Membayangkan mereka datang dan memberikan sebucket bunga. Atau bernyanyi lagu cinta ciptaan mereka di bawah bintang dan bulan bertemankan gitar. Aku tertawa lagi. Lebih keras.
Terlalu banyak impian yang aku tuliskan, dulu. Tapi...
Mataku terpejam.
Bermimpi di umurku yang tak lagi belia seolah menjadi ketakutan baru. Mungkinkah mimpi itu menjadi nyata? Tidakkah itu sulit untukku? Mampukah aku? Kamu gila?
Imajinasi dan logikaku mulai bercampur aduk. Seolah terbangun dari tidur malam yang panjang, dan aku tetap harus menghadapi kenyataan.
Malam ini, aku kembali terduduk bisu. Mengamini tiap celoteh alam dengan bungkam.
Kamu tahu? Aku selalu benci ketika aku menyadari aku sudah ada di bulan Juni. Tidak. Aku bukan membenci bulan ini. Aku hanya membenci ketika aku sadar, aku tak sedang di dalam pesawat dengan titik hujan dan cahaya bandara yang menyilaukan mata. Entahlah, sulit untuk menjelaskannya.
Lalu, masihkah aku berdiri di tengah-tengah pemain konser kesunyian, tahun depan? Atau, sedang berdebar menanti pengumuman? Atau telah berbahagia dengan senyuman bangga?
Aku selalu mengagumi waktu yang bergerak tanpa seijinku. Dan kuharap, kali ini waktu mengijinkanku mengatakan dimana aku ingin ia membawaku. Dan kuharap, apa yang kumau adalah yang terbaik untukku dan masa depanku.
11 Juni 2015