Dalam kebisuan yang beradu dengan deru hujan, mataku berkaca-kaca memandang raga yang seolah tak bernyawa. Ia bernyawa, karena detak jantungnya, karena denyut nadinya, karena hela napasnya. Tapi, tidak dengan perasaannya.
Reyhan...
Lututku bergetar menyaksikan. Melihat ia nampak berbeda di tengah tawa yang menggema di sekelilingnya. Matanya yang dalam memandang langit-langit sayu. Dan itu cukup membuatku sadar bahwa ini adalah jalan yang salah. Dalam pelukan sang hujan, air mataku meluruh. Ada sesuatu yang membuat dadaku nyeri, seperti sebuah belati menyayatnya hingga terbelah dua.
"Astrid," sebuah suara membuat punggungku menegak. Kuseka air mata dengan punggung tanganku sesegera mungkin.
Kening sahabatku tertekuk, mengguratkan pertanyaan yang tak akan kujawab.
"Itu Mas Reyhan kan? Olahraga?"
Aku hanya tersenyum getir. "Buruan balik. Pak Putra udah di kelas."
Reyhan.
"Han..." lelaki berkulit putih langsat itu menekuk kening. "Han!!!!"
Aku tersentak. Berjuta bayangan yang berlalu lalang di benakku menghilang. Bukan berjuta. Melainkan sebuah bayangan yang menggerogoti benakku. Kamu.
"Masalah apa, Han? Astrid? Kalian masih baik-baik aja kan sampek sekarang?"
Salah satu sudut bibir ku terangkat. Kemudian aku mengangguk samar. "Kita baik-baik aja."
"Han, beneran? Sebagai teman kos, ada sesuatu yang keliatan beda, Han!"
Aku hanya tersenyum samar seraya bangkit. Membuat Rangga kian mengernyit. Sekilas kulihat kamu di sana. Dari balik pintu aula yang terbuka. Entah perasaanku atau memang ada kamu di situ, yang jelas hanya debu berterbangan yang tersisa di sana.
Astrid.
Hujan baru saja berhenti berderai. Kupandang telephone genggam yang seolah sudah dikelilingi sarang laba-laba. Tubuhku mulai bergerak ke arah jendela di sudut kamar. Membukanya hingga kulihat sesuatu yang berbeda di angkasa.
"Bulannya indah."
Reyhan.
Aku baru selesai bergelut dengan angka dan rumus fisika. Aroma hujan yang masih tersisa, memaksaku melangkah keluar kosan. Langkahku terhenti ketika kulihat Bulan seakan memandangiku. Mengawasiku.
"Bulannya indah."
Astrid.
Aku menghela napas dalam dan panjang. Menikmati udara seraya menengadah menatap bulan.
Seandainya Mas Reyhan keluar sekarang...
Reyhan.
Ada sesuatu yang membuat nadiku berpacu lebih cepat tatkala melihat sang bulan. Sesuatu seolah berbisik padaku. Maka, dengan sendirinya jemariku mulai mengetik beberapa kata.
"Astrid, bulannya bagus malem ini."
Astrid.
Aku masih terpenjara dalam pesona sang bulan, ketika tiba-tiba telephone genggamku bergetar.
Pasti group kelas...
Dengan ogah aku meraih benda itu, hingga mataku terbelalak ketika sebuah pesan singkat datang dari Mas Reyhan. Darahku berhenti mengalir. Seketika waktu seolah terhenti. Menyisihkan kebetulan yang membuatku percaya akan kekuatan cinta.
Kita ada di bawah bulan yang sama. Memaknai bahasa alam tanpa pernah kita sadari. Dipayungi malam berbintang dengan aroma hujan. Maka, jika bulan dengan sejuta pesona itu bisa bicara, mungkin ia sudah berkata kepadaku tentangmu. Sebagai penyampai pesan mungkin?
To Be Continued...
-Untuk sahabatku, Astrid & Mas Reyhan. Kalian adalah sepasang sayap merpati. Saling mengimbangi. Kalian akan terbang tinggi bersama. Melawan angkasa dengan semangat dan rasa saling percaya. Pasti. Tapi, nanti. Setelah kalian lalui badai ini-