Rabu, 29 Agustus 2012

Untuk Kamu..

Semua yang dimulai, pasti akan diakhiri..
Nikmati sampai rasa itu perlahan pergi
Biarkan hari ini diisi oleh indahnya warna yang dia beri
Karena mungkin esok tak ada lagi dia di sisi
Biarkan rasa itu tumbuh dengan liar
Sebelum akhirnya kamu harus meranggas perasaan itu hingga ke akar
Biarkan rasamu mekar
Karena mau tak mau, kamu akan menggugurkan rasa itu kelak 
Jalani, dan biarkan waktu yang menuntunmu beranjak dari perasaan yang kini menyelimutimu
Nikmati, hingga perasaan itu pergi sendiri
Karena esok, mentari mungkin kan bersmbunyi
Dan perih yang akan mengisi harimu
Memaksamu untuk menganggap semua hanya angin lalu
Yang pasti akan pergi, tanpa pernah kembali lagi


~for someone, trust me nothing hurts could happened, because you had Me~

Kamis, 23 Agustus 2012

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Kenyataan Pahit


  
Aku tak pernah sekali pun menyalahkan sesuatu yang mereka sebut Cinta, hanya saja, aku membenci caranya... Membenci Cinta yang datang tanpa seijinku, membenci Cinta yang tumbuh dengan derai air mataku, membenci Cinta yang lahir karena ketidakmampuan diriku..

Mentari kian meninggi. Sementara Venisia masih berharap keajaiban akan terjadi hari ini. Pelajaran Pengetahuan Sosial, atau lebih tepatnya ekonomi ia lewatkan hanya untuk menantikan kesempatan langka. Ya, tidak benar-benar langka, hanya saja jarang adanya. Saat di mana Veni bisa melihat keagungan tuhan dalam menciptakan. Menciptakan pangeran seperti Varis.
                Veni berjalan di lorong sekolah seraya memasang matanya waspada. Ia menilik gerombolan kelas senior memalui celah dedaunan.
                Ia mendengus sekali. “Ini lebih baik, dari pada aku harus duduk di kelas sampai pantatku panas. Cuci mata.”
               Tanpa ia sadari, Veni terus memerhatikan gerik Varis. Mulai dari ciri khasnya bermain bola sepak di lapangan kala itu. Hingga berapa kali Varis dimarahi guru karena melanggar aturan permainan bola sepak, Veni masih ingat.
                Tak lama, seorang teman wanita Varis mendekat ke arah sang pangeran yang masih terengah napasnya. Teman sekelas Varis yang manis dan populer itu kian mendekat. Gadis itu mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah botol air mineral. Tepat didepan Varis yang beberapa inci lebih tinggi dari gadis itu.
                “Hyah!! Ngapain kakak kelas itu?” dengus Veni kesal.
                “Varis, ini, minum ya. Kamu udah berusaha keras, kenapa sih itu guru malah marah ke kamu?” gadis di hadapan Varis tersenyum manis, terlalu manis hingga membuat Veni mual melihatnya.
                Varis hanya mengangkat sebelah alis seraya menerima tanpa banyak bicara. “Gila, di saat ada cewek yang baik sama dia, tuh cowok masih sempat sok Jaga Image gitu?!” rutuk Veni tiba-tiba.
                Berselang berapa menit, seseorang datang dan menepuk bahu Veni perlahan. “Bentar, tanggung, bentar lagi pelajaran olahraganya selesai,” timpalnya. “Bentar lagi balik ke kelas kok, tenang, Kay.”
                “Venisia Eka, sepertinya kamu tadi absen pada pelajaran saya, kenapa kamu ada di sini?” Seseorang menepuk bahu Veni sekali lagi.
                Veni mengedipkan mata untuk memastikan ini nyata. “Oh.. Eh.. Ih.. Anu.. iya.. kenapa ya? Oh iya, saya tadi ada urusan sama wali kelas. Mangap, Bu, Eh, aduh, Maaf Bu! Lain kali kalau saya ada keperluan mendadak akan konfirmasi terlebih dahulu. Maaf,” sesal Veni.
                Sang guru yang melotot setengah heran seperempat bingung hanya bisa mengiyakan dan pergi entah kemana. “Untung, Hufffttt,” Venisia menepuk dadanya lega. Lantas ia kembali ke tujuan semula dan ia mendapati Varis telah tiada.
                “Kemana tuh orang?”
^^^
                “Ven, akhir-akhir ini nafsu makan kamu makin tinggi. Terus kemaren, eh nggak deh, tiap hari Rabu, kamu selalu ngilang tanpa ijin aku. Kemana? Kamu juga sering senyum nggak jelas.”
                Veni mengurungkan niatnya melahap roti isi selai kacang dan menatap mata sendu Kayla, sahabatnya.
                Sejenak ingatan akan Varis berterbangan di benaknya. Ingatan yang berjalan seperti gulungan film bisu. Di mana Veni bisa melihat Varis yang tertawa renyah, di mana Veni bisa melihat Varis tersenyum manis, di mana Veni bisa melihat Varis meringis menahan pipis.
                “Ven? Halooo..,” Kayla mengayunkan tangannya di depan wajah Veni. “Kenapa sih?”
                Veni mengulum senyum yang susah dipahami. “Jangan tanya kenapa, Kay. Karena aku juga nggak tahu sebenernya kenapa aku ini.”
                “Aneh. Eh btw, tahu nggak Kak Varis kecelakaan kemaren. Sepulang sekolah. Udah tahu belum?”
                “Apa? Sumvah? Serius? Pantes perasaanku nggak enak sejak kemaren! Seharian ini juga belum kelihatan! Di mana, di mana dia sekarang? Siapa yang nabrak? Siapa? Kenapa bisa ketabrak? Siapa saksi matanya?! Jam berapa kejadiannya?”
                “Mulut lo sampek berbusa ngomong segitu banyaknya. One by One, okehh? Semua butuh proses, jangan langsung...”
                “Sekarang gimana keadaannya? Dia nggak kenapa-napa kan? Iya kan?”
                “Ven, heran deh sama kamu. Dia juga bukan siapa-siapa kamu kan? Kenapa heboh sih? Aku aja yang satu ekstrakulikuler biasa aja. Paling juga luka dikit tuh orang, lagian pasti dia yang ngebut. Cowok berandalan, keras kepala, sombong pula. Nggak kaget kalau ada insiden begitu.”
                “Ya, tapi kan dia juga manusia. Kalau kakinya patah, terus diamputasi gimana? Atau.. dia hilang ingatan?”
                “Imajinasi tingkat tiinggi! Auk ah, gelap. Tanya aja sama Mirna dan kawan-kawan, dia kan gudangnya gosip.”
                “Wokeh, bener. Gue ke Mirna, dadahhh!”
                “Eh, tega! Jadi gue sendirian nih? Heh! Veniiiiii!”
^^^
    Kenapa? Kenapa? Kenapa aku terus melontarkan pertanyaan kenapa?
               Berulang kali aku menyadarkan diri, bahwa aku bukan tipemu, bahwa  aku tak ditakdirkan bersanding denganmu. Kenapa? Kenapa aku selalu mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi?

                Venisia membenamkan kepalanya begitu dalam di atas bantal berbentuk kepala monyet coklat. Pikirannya kalut. Seakan ada benang kusut yang membuat otaknya berhenti bekerja. Veni bingung. Ia gundah, resah, dan mulai putus asa.
                “Varis, kenapa kamu selalu buat aku khawatir?”
                Veni terus dan terus mendesah resah. Andai saja Varis benar separah yang ia bayangkan, harusnya ia berada di sampingnya, di sisinya, tapi itu hanya mimpi, hanya imajinasi yang tak bisa terjadi.
                “Mirna bilang, Varis Cuma keserempet. Jadi pasti Cuma luka dikit, pasti! Jangan mikirin dia terus! Jangan!”
                Venisia berulang kali menyadarkan diri. Berusaha mengubur dalam-dalam gambaran senyum Varis. Mulai dari membaca buku, bermain game, hingga mendengarkan musik sudah ia lakukan untuk menghapus memorinya tentang Varis. Yang ada, musik dalam handphonenya yang didominasi musik melankolis justru membuatnya semakin tenggelam dalam bayang Varis. Terutama ketika lagu lama dari DBSK dengan judul ‘How Can I’ berkumandang di kedua telinganya.
                “Venisia! Berhenti pikirkan Varis! Lihat dirimu! Lihatttt, kamu pendek, berisi, dan nggak putih! Sadar! Varis itu pangeran, dan kamu hanya rakyat yang tak dibutuhkan!”
                Bahu Venisia mulai bergetar ketika ia menajamkan pendengarannya. Meresapi arti dari lagu yang masih melantun lembut di gendang telinganya. Perlahan, amat perlahan, benda bening itu mengalir lembut melalui celah pipinya yang bulat. Tangis tulus yang sebelumnya tak pernah ada kini menabiri wajahnya. Menyelimuti kepolosannya.
                Kenapa?
^^^








Kang In Oh, haha >.<

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Biar Cinta yang Membimbing Waktu


                
Dan kini aku mengerti, mengapa tuhan menciptakan rasa yang sulit dilukiskan ini. Ya, karena tuhan ingin membuktikan dan menunjukkan padaku, bahwa tak ada satu pun hal yang percuma. Dan aku yakin dengan perasaanku, meski aku tahu diriku tak pantas untuk itu...

Kesialannnya tadi pagi masih saja menyisihkan kedongkolan di hati Veni. Sejak saat itu, ia jadi muak tiap kali melihat kumis Pak Thomas yang setebal hutan hujan kalimantan itu muncul. Bagaimana tidak, pagi-pagi ia sudah dihujani bebagai macam omelan yang membuat telinganya merah. Tetapi, meski begitu, secara tak langsung, ada sesuatu yang membuatnya sangat bahagia. Kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah singgah. Veni bahagia, sangat bahagia, karena bisa melihat lebih dekat seorang senior yang ternyata sangat manis. Ya, Kak Varis.
                Veni sungguh baru manyadari hal yang sangat fatal. Ia benar baru menyadari ternyata ada saja pangeran yang hidup di jaman seperti ini, bahkan di sekolahnya!
                Entah apa yang mampu membuat Veni tersenyum seharian, tetapi, setiap kali wajah manis Varis berkelebat, kedua sudut bibirnya akan reflek terangkat. Rasanya menyejukkan namun hangat.
                Sepanjang pelajaran, tak ada satu pun kata yang terlontar dari tiap guru mampu diingatnya. Hanya ada nama Varis yang melayang di otak Veni. Selama beberapa bulan menuntut ilmu di sekolah yang semula ia anggap sangat membosankan, baru kali pertama ini, ia sungguh berani mengganti kesaksiannya. Veni akan mengganti paradigmanya tentang sekolah yang suram dan membosankan, karena sebaliknya, sekarang, harinya serasa amat berwarna, mengalahkan semerbaknya warna pelangi. Terlalu berwarna, hingga mungkin semua warna yang ada di bumi melebihi warna yang ada di dalam hari-harinya.
                Waktu kian melaju, begitu pula perasaan Veni yang kian lama kian tumbuh. Setiap tujuh hari dalam seminggu, tak ada satu hari pun yang terlewat dengan kehampaan. Diam-diam ia memandang Varis yang tengah melaksanakan pelajaran olahraga. Betapa kerennya Varis ketika mendreebel bola basket, dan betapa tangkasnya Varis dalam menendang bola sepak, terlebih, ketika peluh bercucuran di kening Varis. Ingin sekali Veni bisa menyeka peluh itu dengan sapu tangan, Oh! Dunia pasti sangat indah bila ia bisa melakukannya. Veni suka semua hal tentang Varis, bahkan ketika wajah Varis membentuk ekspresi aneh keika sedang dimarahi guru. Namun, ada beberapa hal yang membuat Veni sangsi, yaitu kenakalan Varis, ia terlalu berandal untuk ukuran Veni.
                “Masa sih Varis ngerokok?”
                Beribu kali Veni meyakinkan diri. Berjuta kali ia meyakinkan bahwa Varis bukan lelaki yang seperti itu, ia hanya keras kepala dan tak mau diatur. Namun, kenyataannya Varis memang anak yang nakal.
                “Hah?! Dia juga pernah minum?!” reaksi Veni selalu sama ketika mendengar kabar mengagetkan dari Mirna, teman sekelasnya yang hobi gosip.
                “Masa Varis seberandal itu? MASA VARIS SEBADUNG ITU??”
                Veni terus diliputi perasaan bingung. Salahkah ia menyukai orang macam Varis?
                ^^^
               Siang beranjak sore kali ini, Veni dan Kayla kebagian tugas piket mingguan. Mau tak mau, mereka harus pulang telat.
                “Ven, tolong ambilin sapu yang ada di gudang sekolah dong. Sapunya nggak ada nih, kita mau nyapu pakai apa?”
                “Kok aku? Sekolah udah sepi banget. Gudang kan serem. Kamu aja deh, biar aku yang hapus papan tulis. Hehe, boleh ya?”
                “Ven, kakak kelas kan ada pelajaran tambahan, jadi sekolah nggak seberapa sepi. Gudang deket sama kelas senior. Udah gih, sana, buruan, kalau nggak aku laporin ke ketua kelas kalau kamu nggak ikut piket.”
                “Sekarang? Hari ini? Kakak kelas ada tambahan pelajaran? Bukannya Cuma pagi ya?”
                “Udah Venisia, cepetan!”
                “Oh, eh, iyahh, he-em, galak amat sih jadi orang. Tega banget, masa mau ngelempar temen pake penghapus papan seenaknya. Nanti aku item semua.”
                “Veniii!!”
                “Iyaaaa,” Veni berlari terbirit-birit menjauhi gebukan Kayla.
                Venisia bejalan menyusuri koridor sekolah yang agak remang. Dengan sigap berjalan dengan langkah yang dipercepat. Begitu beberapa meter dari kelas senior, gendang telinganya menangkap suara Pak Thomas yang menggelegar itu.
                Veni menoleh melihat suasana kelas yang tengah diajar Pak Thomas. Ya, kelas Varis tentunya, sudah pasti pangeran itu ada di dalam dan terkantuk-kantuk mendengarkan. Ketika Veni melewati pintu dan menolehkan kepalanya, seketika itu, ternyata Pak Thomas dan beberapa siswa sedang mengarah pandang ke arah pintu yang terbuka, tepat ketika Veni lewat.
                Veni melotot dan hanya tersenyum samar.”Siang, Pak,” sapanya menunduk.
                “Siang, eh, kamu... Kenapa belum pulang? Sekarang sudah jam berapa, hah? Kamu pacaran ya? Heh! Jangan lari!”
                Senyum Veni yang semula merekah berubah. Ia menggigit bagian bawah bibirnya dan segera berlari secepat yang ia bisa. Itu semua terjadi begitu cepat dan reflek. Veni lupa, bahwa Pak Thomas benci siswa yang masih berkeliaran di sekitar sekolah ketika jam sudah usai. Dan dia adalah orangnya!
                “Dasar anak sekarang, kerjanya pacaran. Jangan tiru itu,” Ujar Pak Thomas. Beliau kembali melanjutkan pelajaran tanpa merasa bersalah. Karena sesungguhnya, Veni sama sekali tak melakukan hal yang sudah dituduhkan, justru pekerjaan mulia, yaitu, PIKET.
                Beberapa pasang mata melihat kepergian Veni. Termasuk Varis. Varis merasa pernah bertemu gadis berisi itu sebelumnya. Tapi di mana?
                “Hhhh.. tuh orang aneh banget. Sapa juga yang pacaran, orang mau piket kok malah dituduh yang nggak-nggak, awas aja tuh orang.. Hhhh,” Veni berhenti di depan gudang dengan napas memburu.
                “Janji aku nggak bakal lewat kelas itu, bisa-bisa kena omelan lagi.. Hhhh.”
                Akhirnya Veni mengambil jalan pintas dan melakukan piket bersama Kayla. Meski Kayla mengomelinya karena terlalu lama, mood Veni terlanjur buruk untuk dapat menjawab pertanyaan Kayla.
                “Ven, kamu kenapa sih? Tadi ketawa-ketiwi, sekarang mingkem terus? Kamu nggak kesambet setan lewat kan di gudang?” kata Kayla. Ia terus melontari Veni berbagai macam omelan dan pertanyaan, namun Veni tetap bungkam.
                “Iiihh, serem, jangan-jangan Veni kerasukan. Haduh, tahu gini mending aku aja yang ambil sapu.” -_-
^^^



Varis Looks Like


[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Pertemuan Singkat Tak Terlupakan

Haruskah aku terus bergini? Haruskah?
Perasaan ini, getaran ini, sesuatu yang amat memekakkan ini, apa harus lebih lama tinggal?
Aku tak pernah berharap untuk mencintai orang yang salah, karena aku percaya, cinta tak akan pernah salah. Karena aku mengerti, cinta tak dengan mudah datang dan pergi. Begitu pula ketika aku mencintaimu, mulai dari situlah, aku terjebak dalam sangkar yang kamu buat, dan tak bisa sekali pun aku terlepas dari belenggumu.

         Veni, sesosok gadis remaja yang amat polos. Terlalu polos untuk bisa membedakan apa itu rasa suka dan rasa cinta. Venisia Eka, terlalu lugu untuk mampu mengerti apa itu sakit hati serta apa itu dikhianati. Namun, waktu telah menyeretnya menuju masa yang tak pernah ia duga. Masa di mana, cinta itu berdiri tegak dalam lapisan hatinya. Cinta yang sulit dimengerti namun nyata.
         "Sial! Tahu begini, kemarin nggak begadang!" rutuk Veni disepanjang jalan menuju sekolah. Berulang kali ia melirik benda berdetak yang melingkari tangannya. "Semoga ada keajaiban!!"
         Angkutan umum berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah. Dengan kalapnya Veni turun dengan sedikit kesusahan karena rok seragamnya yang terlalu panjang. Hari ini tepat dua bulan ia menuntut ilmu di sekolah yang sebelumnya amat tak penting, sekolah berstandar biasa yang baginya tak akan ada hal luar biasa di dalamnya. Dan beginilah cara Venisia menjalani keseharian.
        "Telat lagi," gumamnya pasrah.
        Seorang pria berkumis tebal, setebal hutan hujan kalimantan berdiri tegak di depan gerbang. Beberapa siswa dengan peluh membanjiri tubuh berusaha tegar meski gemetar.
        "Jam berapa ini? Apa tidak ada jam di rumah kalian, hah?!"
        Veni yang berada pada barisan paling belakang hanya mampu mendengar samar-samar. Sesekali ia mengedarkan pandang untuk  memastikan ia tak sendirian, memastikan bukan hanya dia yang berasal dari bangsa kelas junior.
        "Kenapa senior semua?" katanya dalam hati.
        "Sekarang, baris berdasarkan tinggi kalian, yang pendek di depan! Keluarkan topi upacara!"
        Jujur Veni keberatan dengan metode berbaris berdasarkan tinggi badan, karena sudah pasti ia berada di depan. Sambil terus mendengus, Veni merogoh tasnya untuk mengambil topi.
        "Sial! Sial! Siaaallll!! Gara-gara kemaren malem, nggak sempet nyiapin! Haduh, gimana ini? Topi? topi?" Veni mulai panik. Terlambat sih, oke, hanya satu pelanggaran yang ia kantongi, tapi, terlammbat dan tidak mengenakan atribut sekolah secara lengkap?!
        Semua siswa sudah berdiri tegak dengan mengenakan topi biru yang menutupi hampir sebagian wajah. Seorang gadis bertubuh bulat masih berjongkok dan terus berusaha mengaduk tasnya.
        "Kamu?! Topi kamu mana?"
         Venisia hanya mampu menelan ludah. Napasnya mulai memburu.
         "Kamu?! Kamu juga, Hei! Anak berandal! Kenapa kamu sok tegas, mana Topi kau tu?"
         Veni melirik takut ke arah yang dimaksud. Mengikuti arus pandang sang guru. Lelaki itu, lelaki tinggi itu, lelaki tinggi berkulit putih itu, senior Veni. Dengan air muka tegas, tanpa dosa ia berdiri. Jaraknya dengan Veni hanya di lewati satu siswa sehingga Veni bisa melihatnya dengan jelas.
         "Kamu, sudah telat, atribut tidak lengkap! Ckckck, bagaimana cara orang tua kamu mendidik?! Lihat! Rambut kamu sampai kemerahan, sering keluyuran?!"

         "Ini sudah dari sono, Pak," jawab lelaki itu singkat. Beberapa siswa tertawa pelan.
         Veni terus mencuri pandang. Menilik seniornya itu dari ujung rambut ke ujung kaki, kembali ke rambut lagi.
         "Saya kecewa! Sangat kecewa!"
         "Pak," panggil senior Veni tadi.
         Sontak semua menoleh ke arahnya. Begitu pula Veni. Mata bulatnya dengan cepat menuju ke bet nama. Disanalah, bertengger nama yang tak sesuai perilakunya. "Muhammad Varis Al Qadrie" nyaris saja, tawa Veni menyembul. "Dunia memang udah mau kiamat," ujar Veni lirih. Pikir Veni, namanya akan sesuai penampilannya, bila diganti menjadi Lucky, Edo, atau apalah yang pasti tanpa 'Muhammad' dan 'Al Qadrie'
         "Ada apa, Varis?! Ada masalah?"
         "Pak, saya boleh ijin ke toilet? Kebelet nih, Pak. Sumvah, saya nggak bohong, Sumvah!"
         Sang guru menggeleng beberapa kali. Dilihatnya Varis berusaha menahan sesuatu yang kapan saja bisa keluar.
         "Paaaakkkk, pelissss, Pakkk.. Ini beneran kebelet!!!" rengek Varis. Lagi-lagi tawa kian membahana. Begitu pula Veni.
         "Ya itu derita kaulah!"
         "BAPAK, SAYA KEBELET PAK, BENER! BAPAK TEGA BANGET!" pekikan Varis kian menjadi-jadi. Membuat sang guru mulai geram menangani siswanya yang satu ini.
          "Saya tidak akan mengijinkan,"
          "Aduh, Bapak. Ini beneran, Bapak bisa melanggar hak asasi manusia kalau melarang saya."
          "Ya sudah, sana! Kalau lima menit belum kembali, saya panggil orang tua kamu."
          "Yaoloh, makasih banyak, Bapak!!"
          Venisia hanya tersenyum pelan memandang kepergian sang senior tersebut. Bahkan hingga siang, ia juga tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi pada Varis, karena guru berkumis itu menyerahkannya pada guru Bimbingan Konseling untuk dicatat namanya.
                                                                          ^^^

                                                               Kang In Oh, Huaaa!! ^-^

Sabtu, 11 Agustus 2012

Lirik Lagu EXO-K "HISTORY" With English Lyric and Indonesian



[KAI] Listen, neukkil su inni?
Nae simjangi ttwijireul anha
[CHANYEOL] (My heart be breakin’)
[BAEKHYUN] Nunhan maeume ureodo bogo
Sori jilleo ha! oechyeodo bwasseo

[CHANYEOL] (My pain be creepin’)
[D.O] Heukgwa baek, ajik namgwa buk, kkeuchi naji annneun jeonjaeng Scene
Dullo nanwin taeyangui jeolmang
Meolli dolgo doraseo dasi sijakhaneun gose da wasseo

Oryutuseongijiman baewogamyeo ganghaejil su inneun na
Jeo taeyangcheoreom geodaehan hanaran geol aneun nal
O~ o~ modu hamkke ganeun uri miraero
I need you and you want me, jiguran i byeoreseo o~ o~
Every, every, everyday naega mandeun History

[SUHO] Break it! yongmangui banchik Move it! pagoeran mideok[CHANYEOL] (No more shakin like that)
[D.O] Magic sigani gamyeon tto ssiseun deusi dasi jaesaeng dwae
[BAEKHYUN] Sigongganeul ttwieo neomeoseo edenui achimeul kkumkkugo isseo
Gaja! urin geureon jonjae
Meolli dolgo doraseo dasi sijakhaneun gose da wasseo
Oryutuseongijiman baewogamyeo ganghaejil su inneun na
Jeo taeyangcheoreom geodaehan hanaran geol aneun nal
O~ o~ modu hamkke ganeun uri miraero

I need you and you want me, jiguran i byeoreseo o~ o~
Kkumeul ingtae haneun nal urin dasi ireona
[KAI] Ireona, ireona, ireona (turn it on)
Ireona, ireona, ireona

[CHANYEOL] Yeongwonhalgeora mitgo sipeul ttae
Eonjenga hal geo rago mangseoril ttae
[D.O] Naeiri baro kkeuchinjido molla
Huhoe gateun geon ijeobeoryeo duryeowoma
[SUHO] Jebal saranghae, saranghae, saranghae johwaroulsurok wanbyeokhajanha

[BAEKHYUN] Modeun seulpeumi gippeumi yeogie nawa neoneun han saengmyeongin geol~
[CHANYEOL] Ya! uriga wollae hanaro taeeonatdeon sungan
Galsurok somojeogin i segyereul mannan sungan
[KAI/SE]Urin jeomjeomjeommeoreojyeoga jeomjeom
[KAI] Dullo kkaejyeobeorin chae himeul irheobeorin taeyang
Galsurok, galsurok, galsurok, galsurok deo
[SEHUN] Ganjeolhaetdeon kkumui segyereul dasi majuhaneun sungan

[KAI] Nae gaseumi ttwinda, magu ttwinda
Dung dung dung dung dung dung
Dolgo doraseo dasi sijakhaneun gose da wasseo
[CHANYEOL] Yeah- EXO-M, EXO-K uriga sijakhaneun mirae History
Jeo taeyangcheoreom geodaehan hanaran geol aneun nal
[KAI] Oh, hanaui simjange, taeyange kkeuteobsi urin
Hanaro ganghaejigo isseo

I need you and you want me, jiguran i byeoreseo o~ o~
Every, every, everyday naega mandeun History

English Translation:
Listen, can you feel it? My heart is racing
(My heart be breakin’)
With an angry heart, I cried and I shouted, “ha!”
(My pain be creepin’)

Black and white, still north and south – the endless war scene
The despair of the sun, split in half
I went round and round from far away
And I came back here to start again

I’m filled with errors but as I learn, I can get stronger
The day we realize that the sun is one that is big and great
Everyone together goes toward our future
I need you and you want me, in this planet called earth

Every, every, every day, the history that I make
Break it! The breaking of desire- Move it! The virtue of destruction
(No more shakin’ like that)
Magic – when time passes, it will play again as if it is rewashed

Transcending time and space, I dream of an Eden’s morning
Let’s go! We are that kind of existence
I went round and round from far away
And I came back here to start again

I’m filled with errors but as I learn, I can get stronger
The day we realize that the sun is one that is big and great
Everyone together goes toward our future
I need you and you want me, in this planet called earth
The day we give birth to a dream, we rise up again

Get up, get up, get up (turn it on)
Get up, get up, get up
When you want to believe that it’s forever
When you are hesitating, saying that you’ll do it someday
You never know if tomorrow will be the end
Forget about regrets, don’t be afraid

Please love, love, love – the more harmonized it is, the more perfect
All sadness and joy is here – you and I are of the same life
Ya! The moment we were born as one
The moment we meet this ever-consuming world

We get more, more, more farther away, more and more
The sun broke into two and lost its power
As time goes by, as time goes by, as time goes by
The moment I meet the world of my earnest dreams

My heart races, it jumps, boom boom boom boom boom boom
I went round and round and came back here to start again
Yeah, EXO-M, EXO-K – the future we are about to start – history

The day we realize that the sun is one that is big and great
With one heart, one sun, we are endlessly becoming stronger as one
I need you and you want me, in this planet called earth
Every, every, every day, the history that I make


Indonesia Translation

Dengar, apa kau rasakan?
Jantungku yang berpacu
(patah hatiku)
Dengan rasa marah aku menangis
Berteriak (Ha!) dan menjerit
(kepedihanku menghantui)

Hitam dan putih
Masih utara dan selatan
Adegan perang yang tiada akhir
Terbelah dua, keputus asaan matahari

Aku telah berputar jauh dan mendatangi tempat memulai
Walau penuh kekurangan,
Jika belajar aku akan menjadi kuat
Pada hari kami sadar bahwa matahari itu tunggal dan agung
Kami semua pergi menuju masa depan

Aku butuh kamu, kau inginkan aku
Di planet bernama bumi ini
Setiap setiap setiap hari aku membuat sejarah

Hancurkan, kebusukan hasrat
Gerakkan kebajikan bernama penghancuran
(Jangan gemetar lagi)

Sihir, jika waktu berlalu
Akan diputar kembali seperti dicuci ulang
Melampaui ruang dan waktu,
Kuimpikan pagi di surga
Ayo, kita adalah makhluk seperti itu

Aku telah berputar jauh dan mendatangi tempat memulai
Walau penuh kekurangan,
Jika belajar aku akan menjadi kuat
Pada hari kami sadar bahwa matahari itu tunggal dan agung
Kami semua pergi menuju masa depan

Aku butuh kamu, kau inginkan aku
Di planet bernama bumi ini
Pada hari kita melahirkan impian baru
Kita bangkit bersama

Bangkitlah, bangkitlah, bangkitlah (nyalakan)
Bangkitlah, bangkitlah, bangkitlah

Saat ingin percaya bahwa akan selamanya
Saat kau ragu akan melakukannya suatu hari
Tanpa sadar hari esok telah usai
Buanglah rasa menyesal, jangan takut

Kumohon cintai cintai cintai
Semakin harmonis akan jadi sempurna
Segala kesedihan, kegembiraan di sini
Kau dan aku dalam satu kehidupan

Hei! pada saat kita dilahirkan bersatu dahulu
Saat kita menemukan dunia yang semakin melelahkan ini
Kita makin makin makin menjauh, makin makin
Seperti matahari yang terpecah dua dan hilang kekuatan
Semakin lama, makin lama, makin lama
Saat aku menemukan lagu dunia yang diimpikan hatiku
Jantungku berpacu, melompat-lompat
Dung dung dung dung dung dung

Aku telah berputar jauh
Dan mendatangi tempat memulai
Yeah, EXO-M, EXO-K
Sejarah masa depan yang kita mulai

Pada hari kamu sadar bahwa matahari itu tunggal dan agung
Oh dengan satu hati, satu matahari
Kita terus menjadi kuat dengan bersatu

Aku butuh kamu, kamu inginkan aku
Di planet bernama bumi ini
Setiap setiap setiap hari aku membuat sejarah

Selasa, 07 Agustus 2012

Mengukir Rasa #Special '-'

Tetesan peluh membanjiri tubuhku yang terbalut pakaian olahraga. Sekuat tenaga aku berusaha berlari meski tubuh ini berkata tak bisa. Kurang setengah putaran lagi aku mencapai garis finish, namun, kedua kakiku serasa mati. Aku menyerah dan pasrah. 2 kilometer bukan jarak yang pendek bila aku harus mengitarinya hingga tiga kali. Seketika, aku merasa nyawaku pergi entah kemana. Napasku terengah. Kurasa, pelajaran olahraga kali ini, tak akan pernah menjadi lebih baik semenjak hari itu. Kuingat saat itu, ketika tubuhku butuh pertolongan, kamu datang. Kamu hadir meski kamu tahu, ini bukan saat yang tepat.
"Nay, kamu nggak papa?"
Aku menengadahkan kepala ketika menatap matamu yang beberapa senti di atasku. Kamu mengukir senyum yang mungkin mampu membuat seseorang pingsan.
"Eh, nggak. Aku masih kuat, kok."
"Yakin?" Kamu mengerutkan kening ragu.
Kuanggukkan kepala. Namun, perasaan risaumu tak sedikitpun goyah. "Kalau gitu, kita lari bareng. Takutnya, kalau kamu kenapa-napa, ada aku yang langsung nolongin. Nggak lucu kalau kamu pingsan di tengah jalan."
"Kamu ngelawak?" Jawabku asal.
Kamu menekuk kening kembali. "Menurut kamu?"
Aku tersenyum tanpa sadar. "Nay, ayo buruan! Kejar kalau bisa!" aku tersadar dan mulai mengikuti arus larimu. Dan mulai saat itu, aku tahu, aku sadar, kamu, adalah hidupku, semangatku.

Aku merasa sendiri. Tak adanya dirimu, sama seperti hilangnya setengah debit napasku. Aku kian terengah tanpa adanya senyum penyemangat darimu yang indah. Hari ini, akan menjadi hari yang perih. Bukan hanya hari ini, tetapi seterusnya, selamanya.

Aku ingat, ketika kamu memberiku hembusan angin semangat yang samar namun menyejukkan. Tetapi,  hembusan semangat yang kamu beri kini tak ada lagi. Hidupku kering, gersang.


Pengorbanan yang aku buat kala itu, semata-mata bukan karena egoku, bukan karena emosiku. Tetapi ini yang terbaik, untuk kamu, untuk aku, dan untuk sahabatku.

Aku tahu benar, itu menyiksaku, tetapi semua akan lebih tercekat bila kamu tetap disini. Dan untuk Kesha, maaf sudah membuatmu terjebak dalam labirin kisahku ini...





(Mengukir Rasa, Special Edition ^-^)

Minggu, 05 Agustus 2012

Mengukir Rasa Part 1

Aku termangu di sudut kelas. Mencoret lembaran kertas dengan pola tak jelas. Penat. Mataku menerawang lurus ke luar jendela. Berharap ada sesuatu yang membuat otakku serasa lebih ringan dari sebelumnya. Tubuhku serasa sangat amat berat, terlalu berat hingga aku nyaris tak mampu berkutik. Sesekali mataku menerawang ke benda berdetak yang seakan tersenyum sinis padaku. 
Sepersekian detik kemudian, seseorang datang ke arahku. Langkahnya yang lebar dan hentakannya yang keras sama sekali tak membuatku meliriknya.
"Nay! Nay! Is the best day ever!!" serunya girang. Aku bergeming. "Nay, mood kamu jelek ya? Senyum napa." Ia duduk dengan mudahnya tepat di sebelahku. 
Kutarik napas panjang sebelum berujar, "ada apa lagi? Baru nemu uang seratus ribu jatoh?"
Ia hanya mengerucutkan bibir pertanda sebal. "Sha, jelek banget kalau kamu merengut gitu."
"Emang dasarnya aku jelek, puas?"
"Nyantai, bro?!"
"Kamu sih, tumben hari ini nggak keluar kelas? udah capek jadi stalker?"
"Bukan masalah kan?" kataku. Kesha menekuk kening. "Lagi pengen meditasi aja."
"Meditasi? Iiiihh, mau jadi penerusnya ki Joko Bodo?"
"Mungkin, malah bisa lebih."
Kesha memutar mata. "Otak kamu udah error stadium berapa sih?" celetuknya. Tanpa terduga, ia merenggut buku catatan penuh tinta yang kubuat.
"Lihat aja, nggak ada apa-apanya."
"Nay, kamu kenapa sih? Aku ngerasa kehilangan kamu, Nay." Kesha menatapku sendu. Kulihat, seberkas harapan tumbuh. "Aku kangen kamu yang selalu marah kalau di jailin, kangen banget."
"Jangan natap aku kayak gitu, aku masih normal, kamu bukan tipeku."
"Iih, kebanyakan nonton Korean Drama sih. Aku serius, aku ngerasa kehilangan kamu semenjak...," Kesha tak tuntas bicara. Karena secara tak sadar aku menyergahnya.
"Sha, Please."
"Maaf."
Kami berdua terdiam begitu lama. Dijam kosong ini, biasanya, aku tak pernah merenung. Tak pernah menyendiri. Tapi, kali ini, sekali ini, hari ini, aku serasa lumpuh. Tak berdaya, entah mengapa. Seakan, esok tak lagi ada hari, tak ada lagi mentari.
"Sha, baca apa? kenapa jadi diem?" kataku mulai curiga. Tak seharusnya Kesha bersikap manis seperti itu.
Aku menyadari satu hal ganjal. Pelupuk mata Kesha tergenang air mata. Kenapa?
"Sha, jangan nangis. Kamu barusan nguap ya? ngantuk?"
"Kali ini aku nggak nguap kayak biasanya, aku nangis, Nay."
Aku kian tak mengerti. Setitik rasa bersalah terasa mulai meraba hati ini.
"Aku salah?"
"Aku tersentuh baca tulisan kamu, Nay. Hiks.."
Rasa bersalah itu pun runtuh seperti kertas berubah jadi abu.

Langkah demi langkah aku berusaha..
Kian lama hingga kakiku nyaris lemah..
Apa? Apa ini yang harus kuterima?
Hati ini menangis, tetapi tak sanggup menepis..
Kamu, sadarkah kamu? Mengertikah kamu?
Hatiku berdarah, terluka, tak sanggup lagi, menerima perih..
Salahkah aku memiliki rasa ini?
Salahkah aku menyimpan perasaan yang kian mengendap di sudut hati ini,
perasaan rindu akan hadirmu, perasaan rindu hangatnya senyummu
Aku manusia, sama seperti mereka, tetapi kamu tak pernah bisa menyadari hadirku..
Kamu menganggapku tak kasat mata, kenapa?
Waktu membungkus perasaanku, mengikatnya hingga tak bisa terpisah..
Rasaku tetap sama, bahkan hingga kamu sudah tiada..

Kesha menjulurkan tangannya menunjukkan catatan milikkku. Catatan yang entah kapan pernah kubuat, yang pasti ini semua kubuat dengan hati, dengan nurani.
"Nay," Kesha menepuk bahuku, seolah ia berusaha memberi semangat padaku.
"Kenapa? Aku nggak apa-apa, jangan bertindak seolah aku sedang bersedih!"
"Nay, bibirmi bisa berkata kosong, tapi matamu.. nggak bisa berbohong."

Aku menatap Kesha dalam. Rasa itu, sakit itu, merebak lagi. Muncul di permukaan hati ini. Kenapa? Kenapa aku harus mengingatnya kembali?

"Cukup, Sha! Aku nggak apa-apa, jangan kamu pikir aku lemah cuma karena masalah itu, justru akulah yang jauh lebih kuat dibanding kamu!" emosiku menyeruak. Mengalahkan logika dan akal sehat. Aku membentak Kesha, seraya meninggalkannya tertegun. 
Aku lelah, sangat lelah. Haruskah aku terus bersembunyi dari kenyataan seperti ini?



-to be continued


 

Template by Best Web Hosting